English English Indonesian Indonesian
oleh

MEMAAFKAN TETAPI TIDAK MELUPAKANNYA

Oleh Aswar Hasan

Forgive but don’t forget (Maafkan, tetapi jangan melupakannya) adalah kalimat terkenal dalam sengketa politik.

Ungkapan “Forgive but don’t forget” sering dikaitkan dengan Perdana Menteri Britania Raya, Winston Churchill. Pemikiran dan arah pidatonya sering menekankan pentingnya memaafkan kesalahan masa lalu sambil tetap mengingat pelajaran yang dipetik dari pengalaman tersebut.

Pidato Churchill kerap merujuk pada pentingnya memaafkan kesalahan masa lalu, tetapi juga untuk tidak melupakan pelajaran yang dipetik dari pengalaman tersebut. Dalam konteks ini, ungkapan tersebut menggambarkan sikap diplomatik yang bijaksana, di mana negara-negara harus dapat memaafkan masa lalu untuk menciptakan perdamaian dan rekonsiliasi, tetapi juga harus tetap waspada terhadap ancaman masa depan yang mungkin timbul dari akibat kasalahan di masa lalu.

Itulah pentingnya belajar dari sejarah dan menjaga kewaspadaan terhadap ancaman politik berulang, yang bisa saja muncul kembali di masa depan. Pidato Churchill sebagai negarawan Inggeris kerap kali menjadi salah satu panggilan terkenal untuk persatuan dan keberanian dalam menghadapi tantangan dunia pasca-Perang Dunia II, serta menegaskan komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan, dan kemerdekaan.

Konsep memaafkan tetapi tidak melupakan juga sejalan dengan nilai-nilai yang kerap dipidatokan pemenang Nobel Perdamaian Nelson Mandela, orang Afrika pertama yang terpilih dalam pemilu demokratis yang sepenuhnya representatif. Beliau meyakininya dan menerapkannya dalam upaya rekonsiliasi di Afrika Selatan pasca-apartheid.

Dalam konteks politik dan konflik kepentingan dalam suatu negara, filosofi “Forgive but don’t forget” memiliki makna yang mendalam. Ini menyoroti pentingnya rekonsiliasi dalam mengatasi perpecahan politik dan konflik kepentingan yang dapat mengancam stabilitas negara. Pertama-tama, “Forgive” menggambarkan pentingnya memaafkan kesalahan atau ketidaksepakatan politik di antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik kepentingan. Memaafkan memungkinkan untuk memulihkan hubungan dan mengurangi ketegangan antarpihak, yang merupakan langkah penting dalam menciptakan kedamaian dalam suatu negara. Namun demikian, penting untuk tidak melupakan pelajaran yang dipetik dari konflik tersebut, yang dinyatakan dalam bagian “don’t forget”. Ingatan terhadap kesalahan dan ketidaksepakatan politik yang terjadi dapat membantu mencegah terulangnya konflik serupa di masa mendatang. Ini mendorong negara untuk mempelajari penyebab konflik dan mengimplementasikan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegahnya.

Secara keseluruhan, dalam konteks politik dan konflik kepentingan dalam suatu negara, filosofi “Forgive but don’t forget” menggarisbawahi pentingnya rekonsiliasi, pembelajaran dari di masa lalu, dan pencegahan konflik di masa depan untuk mencapai stabilitas politik dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Dalam persfektif Agama Islam, Allah SWT telah mengingatkan untuk menjadi pemaaf, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al A’raf ayat 199, yang artinya: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” Demikian juga dalam surat As Syura ayat 40 yang artinya: “Balasan suatu keburukan adalah keburukan yang setimpal. Akan tetapi, siapa yang memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat), maka pahalanya dari Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang zalim.

Sementara dalam Hadits, Rasulullah, SAW, berdasarkan HR. Bukhari dan Ad Dailami, diriwayatkan: “Rasulullah SAW bersabda, “Iman yang paling utama adalah sabar dan pemaaf atau lapang dada.”

Dengan demikian, betapa mulianya memaafkan itu, terlebih dalam momentum iedul fitri ini. Akan terasa lebih indah dalam berbangsa dan bernegara jika para Elit politik pasca Pemilu untuk saling memaafkan demi persatuan dalam bernegara untuk kepentingan masa depan bangsa. Namun, itu bukan berarti kita lantas melupakan kejahatan politik di masa lalu yang belum sempat atau tidak ditindaki sesuai prinsip keadilan hukum sebab, hukum boleh saja menyudahinya atau menutupinya, tetapi rasa keadilan dan aspirasi kebenaran tidak akan bisa ditutup-tutupi. Meski pun, kita telah memaafkan pelakunya sebagai sesama manusia. Wallahu a’lam Bishawwabe.

News Feed