OLEH: Arhamuddin Ali
(Peneliti dan Dosen Musik STKIP Kusuma Negara)
[email protected]
Ada hal unik ketika melihat peristiwa kebudayaan di daerah Mattirodeceng, Pujananting Kabupaten Barru. Salah satu aktivitas anak muda di daerah tersebut aktif mempelajari kesenian tradisinya. Yang menjadi sorotan dalam tulisan ini adalah terkait aktivitas mereka mempelajari kesenian gendong-gendong atau biasa juga disebut genrang riwakkang. Dikatakan unik, sebab, dalam perbincangan kesenian tradisional hari ini, tidak kurang anggapan bahwa anak muda tidak begitu berminat dengan kesenian tradisinya. Namun, itu justru berbanding terbalik dengan anak muda di daerah ini.
Genrang riwakkang merupakan bentuk kesenian bebunyian yang dimainkan secara berkelompok. Ada beberapa alat ang dimainkan dalam kesenian ini, antara lain genrang riwakkang itu sendiri, rinci (tamborin), gambusu’ (gambus), mandoling, dan rabana (rebana). Masing-masing alat memiliki karakter dan peranan tersendiri. Misalnya alat yang pertama dan kedua tergolong alat idiofon, ketiga dan keempat jenisnya kordofon, dan yang terakhir termasuk kategori membranofon. Semua alat tersebut dimainkan secara bersamaan dengan nyanyian dalam penyajiannya, sehingga dapat dikatakan sebagai ansambel bebunyian.
Secara teknik permainan, masing-masing alat yang tergabung dalam kesenian ganrang riwakkang dapat dikategorikan menjadi dua ciri. Cara memainkan ganrang riwakkang, mandolin dan gambusu’ dilakukan dengan memainkan melodi sebuah nyanyian. Berbeda dengan rabana dan rinci, yaitu dimainkan dengan membuat pola ritme tertentu, namun fungsi utamanya adalah membentuk tempo permainan, baik itu cepat atau lambat. Di setiap pertunjukannya, lagu-lagu nyanyian rakyat, termasuk gambus, dangdut dan pop daerah bugis sudah menjadi ciri khas yang kerap dimainkan.
Dalam perbincangan saya dengan Marzuki, salah satu penggerak anak muda di Pujananting, mereka menyadari bahwa genrang riwakkang merupakan wajah identitas kampungnya, bahkan daerah Kabupaten Barru dalam konteks yang lebih luas. Hal ini menarik, sebab, sekitar 2010-2011 lalu, ketika saya melakukan penelitian lapangan tentang kesenian genrang riwakkang, terlihat para pelaku yang aktif memainkannya terbilang sudah sepuh, bahkan tidak menemukan anak muda yang memainkan atau mempelajari kesenian tersebut saat itu. Tetapi saat ini kondisi berubah, para anak muda Pujananting menyadari bahwa penting untuk melakukan regenerasi pelaku kesenian genrang riwakkang dan membentuk pola pewarisannya agar tidak hilang tergerus zaman.
Dari aspek sosiologis, gerakan anak muda Pujananting yang aktif mempelajari ganrang riwakkang merasa bahwa desanya selama ini masih kurang diketahui oleh masyarakat secara luas dibandingkan daerah lain di Kabupaten Barru, khususnya di daerah perkotaan. Menurut Marzuki, berdasar dari kondisi tersebut, ia bersama rekan-rekannya di organisasi Karang Taruna, menghimpun anak muda untuk mempelajari warisan budaya dari leluhurnya itu. Upaya ini dilakukan agar daerah Pujananting muncul sebagai daerah yang dikenal dengan kekayaan kesenian tradisional.
Dalam mempelajari ganrang riwakkang, anak muda Pujananting belajar langsung dari Bapak Colleng, yang juga merupakan pelaku utama atau maestro kesenian ini. Mereka belajar di kediaman salah satu pelaku kesenian rakyat Pujananting tersebut, baik itu di teras rumah pada siang hingga sore hari, maupun di dalam rumah saat malam hari. Di samping itu, mereka juga kerap memanfaatkan fasilitas Kantor Desa sebagai ruang proses latihan.
Anak muda yang mencoba mewarisi ganrang riwakkang merupakan masih kerabat dekat dari Bapak Colleng. Dalam prosesnya, para anak muda tersebut mempelajarinya secara oral atau dalam bentuk tradisi lisan. Mereka meniru langsung Bapak Colleng ketika memainkan alat, dan juga menghafal lagu-lagu yang biasa dibawakan.
Dalam proses mempelajari genrang riwakkang, para pemuda desa tersebut juga sudah sering dilibatkan langsung dalam beberapa kegiatan pertunjukan. Ibaratnya learning by doing, mereka terlibat langsung mempraktekkan genrang riwakakkang dalam pertunjukan resmi yang kerap diadakan di Kabuptaen Barru. Berbagai kegiatan yang dimaksud, seperti misalnya pentas dalam kegiatan Festival Kebudayaan, baik dari skala desa hingga kabupaten. Mereka pernah melakukan pertunjukan di Festival Budaya To Berru 2020, Barru Local Fest 2021, Festival Pesta Panen 2022 di Pujananting dan beberapa kegiatan lainnya, seperti misalnya penyambutan tamu desa hingga hajatan di kalangan masyarakat setempat.
Selain mempelajari praktek memainkan genrang riwakkang, anak muda Pujananting juga melakukan pencatatan dan memproduksi pengetahuannya. Salah satu cara yang dilakukan yaitu dengan membuat film dokumenter yang bertema tentang cerita desa. Cerita film tersebut berisi tentang asal usul, organologi, fungsi dan pola regenerasi genrang riwakkang. Keberadaan karya film tersebut menjadi terobosan baru di kalangan anak muda Pujananting. Kemampuannya memproduksi film itu sendiri menandai perbedaannya dengan film-film dokumenter seni lainnya yang kebanyakan diproduksi oleh pihak dari luar tempat kesenian itu berada.
Adanya film dokumenter tersebut semakin memudahkan kalangan masyarakat, baik di Pujananting atau daerah lainnya untuk megakses pengetahuan genrang riwakkang. Dengan memanfaatkan teknologi media digital berbasis internet, jangkauan keberadaan ganrang riwakkang semakin meluas. Karya ini dapat digunakan sebagai media untuk mempelajari genrang riwakkang, baik dari segi pengetahuan dan praktikal artisitiknya. Setidaknya, film tersebut dapat disaksikan oleh kalangan pelajar baik dari skala desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, nasional, hingga internasional.
Tentunya, upaya yang dilakukan para anak muda di Pujananting ini layak diberikan apresiasi. Di samping gerakan secara mandiri, mereka juga perlu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Tekhusus untuk pemerintah, keberadaannya sebagai fasilitator aktivitas kebudayaan yang dilakukan oleh komunitas budaya wajib turut berpartisipasi mendorong fenomena pewarisan ganrang riwakkang ini. Sebab, sesuai dengan amanat UU No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan, negara harus hadir dalam merawat dan mengelola kekayaan warisan budaya Indonesia.
Gerakan anak muda Pujananting dalam mewarisi kesenian genrang riwakkang dapat membuka mata semua pihak untuk melakukan hal yang sama dalam berbagai konteks pewarisan budaya. Maka dari itu, ke depannya, diperlukan kolaborasi oleh semua pihak agar dapat menyusun langkah strategis dalam mewarisi kesenian tradisi ini. Semoga yang dilakukan anak muda Pujananting di Kabupataen Barru dapat menginsiprasi kita semua. (*)