Pelajaran mobil mogok itu membuat saya semakin tersadar bahwa saya bukan orang yang terkenal, lebih tepatnya “tidak ada” yang kenal. Ribuan mobil lewat, tidak ada satupun yang menunjukkan mimik seperti mengenal saya. Bahkan saya hanya berhalusinasi, akan ada teman dari kampung saya yang lewat, atau ada teman yang menuju ke hotel, tempat acara yang sama. Saya menyebutnya halusinasi, karena peluang terjadinya, 0,01 persen.
Pelajaran terpenting dari taksi mogok itu, saya rupanya jauh dari saatnya berbangga dengan jejaring. Di tengah mogoknya mobil, saya sendiri bingung, siapa yang akan saya hubungi untuk secepatnya datang membantu. Saya mencoba mengingat nama orang-orang tertentu, tapi saya pikir akan lebih menyulitkan mereka untuk menceburkan diri dalam macet.
Sekiranya saya orang berjejaring, saya sudah mengenal banyak sopir taksi yang mangkal di bandara. Sekiranya saya orang berjejaring, saya tidak bingung untuk menelpon penyedia jasa rental yang berkantor di bandara.
Saat itu, saya betul menjadi orang asing yang meminta tumpangan tanpa ada yang hirau. Ibarat sebutir debu di tengah hamparan alam luas. Laksana puing dari sebuah daun kering di tengah belantara. Itulah sekolah kehidupan saya hari itu, selalu-lah belajar hidup dari kehidupan, pelajaran tentang “ketiadaan” diri. Bukan hanya sadar bahwa di atas langit ada langit, tapi yang terpenting, jangan pernah merasa sedikitpun sudah berada di atas sebuah langit. Anda terharu? Sebentar, saya cari tissue dulu. (12/*)