Tidak lama setelah saya menyelesaikan target bacaan, tiba-tiba terdengar bunyi mesin mobil taksi yang saya naiki tersendat dan akhirnya mati. Sopirnya berusaha membunyikan lagi tapi sama sekali tidak berhasil. Mobil berhenti pada situasi hujan di jalan tol yang macet.
Awalnya kami merasa sangat biasa saja, saya pikir pasti sopirnya punya cara untuk mengatasi hal seperti ini. Tapi ternyata, seiring waktu berjalan, tidak ada apa-apa yang terjadi. Untung baik saya masih bisa menurunkan kaca mobil sebelum mobil itu sepenuhnya kehilangan power. Sopirnya keluar dari mobil di kehujangan dan saya mengamati semua mobil lewat, berharap ada yang mau menawarkan tumpangan.
Setelah waktu berjalan sekitar 15 menit, kami mencoba berbicara dengan sopir, tapi ternyata jawabannya membuat lemas. Katanya, sudah menelpon operatornya tapi tidak ada respon. Dari situ, saya berpikir kami harus membantu diri kami sendiri.
Saya mencoba menyetop setiap taksi dengan lambaian tangan dari dalam mobil karena hujan, tapi sepertinya sia-sia. Hampir semua taksi yang keluar dari Bandara pasti terisi. Bahkan banyak dari sopir hanya senyum-senyum melihat tingkah saya. Sambil melambaikan tangan dari jendela pintu mobil, sesekali saya berteriak, “tumpangannya”. Tapi tetap tidak membantu, bahkan tidak ada yang dengar karena kaca mobil mereka semua tertutup.
Kami merasa “hopeless” saat itu, sampai sebuah taksi kosong yang tidak terduga lewat, karena ingin pulang istirahat.
Ada banyak pelajaran penting yang saya petik dengan mogoknya mobil taksi yang saya tumpangi, terkhusus ragam pelajaran kesombongan, namun saya hanya fokus pada aspek pelajaran pada kesombongan jaringan. Saya baru saja “mendewakan” kekuatan jejaring sebagai modal kehidupan terbaik. Di situ juga tercermin sikap saya bahwa saya contoh orang yang bisa membangun networking.