BALI, FAJAR – BPJS Kesehatan memilik banyak tantangan. Meski sudah surplus dan memiliki aset untuk membayarkan klaim sampai 5 bulan, ada potensi defisit tahun berjalan. Selain itu, karena memiliki data yang besar, maka keamanan data menjadi sorotan.
Menurut data dari Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) inflasi biaya medis mencapai 13 persen pada 2023. Karenanya, berpengaruh bagi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Kepala BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menyatakan inflasi di sektor kesehatan memang selalu lebih tinggi daripada inflasi umum. Ini terkait dengan inovasi yang terus berkembang di dunia medis.
“Misal punya uang Rp300 juta untuk beli obat tahun ini, nilainya akan berbeda dengan Rp300 juta untuk tahun depan,” ungkap Ghufron, kemarin.
Tahun ini, ada potensi defisit tahun berjalan. Angkanya sekitar Rp16 triliun. Menurut Ghufron potensi defisit ini karena pengguna BPJS Kesehatan makin banyak. “Kepercayaan masyarakat meningkat tajam dari yang sebelumnya tidak mau pakai BPJS Kesehatan, sekarang mau pakai,” bebernya.
Apakah ini artinya perlu kenaikan iuran? Ghufron menyebut lebih senang jika iuran naik. Sebab, ini akan menghindari defisit. Selain itu dapat menjaga pembayaran klaim ke rumah sakit tepat waktu dan membayar tenaga medis lebih baik.
Dia juga sempat ditanya Presiden Joko Widodo apakah iuran BPJS Kesehatan perlu naik. Sebenarnya evaluasi iuran BPJS Kesehatan dilakukan setiap dua tahun sekali. Namun, iuran BPJS Kesehatan terakhir naik pada 2020.
“Ini menyangkut kebijakan, tidak bisa ditetapkan oleh BPJS Kesehatan tapi presiden,” bebernya pada acara The 17th ISSA International Conference on Information and Communications Technology in Social Security di Bali, Rabu (6/3/2024).