Oleh: Muh. Fadhly Kurniawan, Transkrip Tradisi Lisan Indonesia
“Akkarena-karena ri singara’ bulang”
Lirik lagu pembuka yang dibawakan oleh band Pelakor (Pelantun Keroncong) sangat mewakili atmosfer malam itu. Entah sebuah kebetulan atau sudah takdirnya pementasan teman-teman Sanggar Samboritta Art bermandi cahaya sinar bulan purnama, orang Makassar menyebutnya dengan Singara’ bulang.
Saya teringat sebuah tradisi lisan yang dituturkan Daeng Serang Dakko, bahwa to riolona Mangkasara atau masyarakat Makassar tempo dulu merayakan kehadiran bulan purnama dengan bersuka cita. Para seniman dan warga berkumpul di tanah lapang, mereka membawa penganan lokal dari rumah masing-masing sambil menyaksikan pertunjukan kesenian tradisional, seperti silat Manca, Kacaping, tari-tarian, teater rakyat, dan pertunjukan lainnya. Akhirnya, vibes to riolo pun saya rasakan malam itu di lapangan pertanian, Dusun Borongrea, Desa Bili-bili, Kabupaten Gowa.
Sedikit cerita, agenda ini sudah terdengar dari awal tahun lalu, akhirnya saat hari H tiba yaitu Sabtu sore tanggal 24, saya beranjak ke Bili-bili bersama Pak dokter Yoyo. Ditengah perjalanan kami disambut gerimis dan melihat gumpalan awan di wilayah Bili-bili, di benak saya sungguh kasihan persiapan teman-teman bila hujan deras turun. Nyatanya, setiba di lokasi hujan deras seperti ekspektasi tidak turun, hanya gemercik gerimis sesekali menyapa. Hal itu berkat bantuan doa Daeng Kobo ke ilahi (seorang nenek yang tinggal di sanggar Samboritta) sehingga kondisi cuaca mendukung hingga berakhirnya acara.
Kegiatan ini berjudul Mempo-mempo, sebuah pertunjukan seni musik dan tari berbasis tradisional yang mengonsep penonton maupun penampil didominasi dengan “duduk”, olehnya itu panitia telah menyediakan beberapa karpet untuk merujuk arti judul kegiatan ini, yaitu duduk bersama. Malam itu ada banyak pertunjukan, dimulai dari sajian musik band Pelakor, rampak gendang Makassar diselingi Aru Makassar dan Bugis, silat Manca, musik Loskin/Losquint, tari Nusantara, tari Pakarena, tari gandrang bulo, atraksi penari Pepeka ri Makka, dan ditutup hiburan musik mix-medley oleh Teater Koplo.
Bila ditaksir, total penampil dari sanggar Samboritta Art sekitar 30 orang lebih, mereka adalah pemuda-pemudi setempat yang tinggal di sekitar pasar Bili-bili, adapun crew artistik panggung berasal dari alun-alun pertamina. Sebuah kolaborasi pemuda yang sangat istimewa. Semua penonton merasa puas akan energi positif panggung yang diberikan oleh pementas sanggar Samboritta Art, terbukti bahwa saat saya berpindah-pindah lokasi mengamati atmosfer audiens, semuanya tertuju pada panggung sambil penasaran pementasan apalagi selanjutnya. Pun saya malam itu merasa re-chargesetelah sekian lama puasa menyaksikan pertunjukan seni rakyat.
Setelah pementasan berakhir sekitar pukul 23.00, saya menuju ke sanggar Samboritta Art dan berdiskusi dengan inisiator kegiatan sekaligus pendiri sanggar yaitu Irsandi Idrus S. Pd, populer dipanggil Ashok Daeng Siama. Pertunjukan perdana ini tidak hanya diinisiasi olehnya, tetapi berkat dukungan istrinya Haflisa Agustin/Titin. Bukan sebuah kebetulan, tetapi sebuah anugerah mereka dipertemukan, apalagi keduanya merupakan pemusik dan penari tradisional, alumni pendidikan Sendratasik (Seni Pertunjukan), Fakultas Seni dan Desain-UNM. Olehnya itu, dasar pendirian sanggar ini dapat dikata sebuah landasan yang ideal.
Ashok bercerita bahwa sebelum sanggar ini dibentuk, di tahun 2020 awalnya hanya menyewakan kostum tari tradisional dan jasa make-up.Seiring berjalannya waktu, Ashok melihat banyak anak muda di lingkungannya tidak terkontrol, dalam artian banyak melakukan kenakalan remaja yang tentu saja meresahkan bagi warga sekitar.
Hal itu dilihatnya sebagai suatu potensi untuk memberdayakan mereka dalam hal kegiatan positif, tentu saja ia mengaplikasikan keilmuannya sesuai backgroundnya, yaitu pendekatan kesenian yang didapatkan dari jalur akademik serta dari didikan moril sanggar dimana ia tumbuh, yaitu Komplen Bantaeng. Alhasil, setelah melakukan pendekatan emosional dan karakter ke pemuda setempat selama dua tahun, ia pun mendeklarasikan untuk membuat sanggar seni di tahun 2022.
Kegiatan Mempo-mempo adalah pertunjukan perdana sanggar mereka dan merupakan salah satu pembuktian eksistensi sanggar Samboritta Art. Sejalan dengan itu kegiatan ini mendobrak stigma anak muda setempat yang dulu anarkis kini berhasil berubah menjadi citra positif, khususnya di mata warga sekitar. Tidak mudah membina psikologi massa, apalagi usia remaja yang masih kategori “liar”, namun bagi Ashok sendiri hal itu tinggal butuh diarahkan, pemberdayaan SDM lokal, khususnya pemuda itu butuh cuman wadah, dan sanggar seni adalah salah satu wadahnya. Samboritta Art diharapkannya sebagai rumah belajar, proses dan tumbuh bersama.
Mempelajari kesenian tradisional artinya mempelajari pengetahuan lokal, hal inilah yang ditanamkan Ashok kepada pemuda Bili-bili agar masyarakat akar rumput tidak takkalupa terhadap warisan leluhur, apalagi saat ini derasnya arus hegemoni budaya dari luar cepat atau lambat akan diadopsi menjadi bentuk budaya baru kita.
Kehilangan pengetahuan lokal artinya kehilangan identitas, jangan sampai kita tumbuh menjadi Tau Mangkasara yang ugal-ugalan dan tidak tahu lagi saling mempo-mempo sipitangarri atau saling mengingatkan bila lupa, merangkul bila berduka. Sebagai penutup, kegiatan ini dinahkodai oleh saudara Adi dan disponsori oleh Noknov, Pelakor, Wanda Salon, Sayang Cell, First Coffee, Anty Bakery, dan Berkah Laundry. Salama’ki.
24 Februari 2024