Oleh: Dewa Putra Krishna Mahardika
Direktur Ecovestasi
Selama beberapa dekade, sektor pertambangan nikel Indonesia menjalankan praktek apa yang disebut “ekspor tanah air.”
Dalam skema tersebut perusahaan tambang melakukan ekspor atas tanah yang mengandung bijih nikel ke negara lain untuk diolah pada smelter yang berlokasi di negara tujuan ekspor. Praktek ekspor tanah air terjadi karena memang tidak adanya aturan larangan ekspor tanah air dan terbatasnya jumlah smelter lokal yang mampu mengolah bijih nikel.
Dari sisi penambang, praktek ekspor tanah air lebih mudah untuk dijalankan dibanding harus mengolah bijih nikel melalui smelter karena praktek ekspor tanah air tidak memerlukan modal besar (untuk membangun dan mengoperasikan smelter), sehingga penambang dapat melakukan ekspor tanpa harus melalui proses peleburan bijih nikel di smelter.
Namun, praktek ekspor tanah air telah dihentikan melalui program hilirisasi melalui penerbitan Peraturan Menteri ESDM No. 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. Dampak dari peraturan ESDM tersebut adalah kewajiban untuk memproses bijih mineral di dalam negeri sebelum dapat melakukan kegiatan ekspor mineral logam. Kondisi ini membuat penambang dalam negeri harus membangun dan mengoperasikan smelter guna memproses bijih mineral sebelum melakukan ekspor.
Tidak diragukan bahwa kebijakan hilirisasi mineral membawa banyak kebaikan bagi Indonesia. Nilai ekspor bijih nikel yang rendah pada praktek ekspor tanah air dapat ditingkatkan melalui proses pengolahan nikel yang dijalankan di dalam negeri. Kondisi ini telah membuka banyak lapangan kerja, mendatangkan investasi asing untuk mendirikan smelter dan memperbaiki neraca perdagangan Indonesia melalui peningkatan nilai ekspor barang mineral. Bahkan, menurut seorang tenaga ahli Kementerian Keuangan Bidang Industri dan Perdagangan Internasional keberhasilan hilirisasi nikel dapat dinilai berdasarkan nilai tambah yang dihasilkan dari program hilirisasi yang menurut suatu perkiraan terjadi peningkatan nilai tambah hingga 33 kali.
Hilirisasi nikel juga merupakan upaya pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai bagian penting dari produsen global kendaraan listrik karena sampai saat ini nikel masih menjadi komponen penting dalam teknologi baterai kendaraan listrik.
Namun, keberhasilan program hilirisasi nikel yang sudah terjadi saat ini perlu diwaspadai. Pertama, teknologi baterai berkembang cepat akibat banyaknya inisiatif penelitian untuk mengembangkan teknologi baterai. Pengembangan tersebut bertujuan untuk meningkatkan daya tahan baterai, meningkatkan penggunaan bahan baku yang lebih ramah lingkungan dan menurunkan biaya produksi baterai.
Berdasarkan data International Energy Agency, pada 2022 baterai lithium nickel manganese cobalt oxide (NMC) mendominasi dengan pangsa pasar sekitar 60%, diikuti dengan lithium iron phosphate (LFP) dengan porsi 30% dan nickel cobalt aluminium oxide (NCA) dengan porsi 8%. LFP berbeda dengan NMC dan NCA karena LFP tidak menggunakan unsur nikel dan kobalt. Tidak adanya unsur nikel dan kobalt dalam LFP berpotensi membuat berkurangnya ketergantungan pada kedua mineral logam tersebut.
Dari sisi produsen kendaraan listrik, berkurangnya ketergantungan pada nikel dan kobalt merupakan sesuatu yang positif karena untuk memproses kedua mineral logam tersebut memerlukan energi yang besar dan dari proses pengolahan tersebut menghasilkan limbah yang berpotensi mengancam keragaman hayati di lokasi sekitar tambang. Selain itu, harga nikel dan kobalt yang berfluktuasi, dan lokasi tambang kedua logam tersebut yang tersebar di negara berkembang yang kurang stabil secara politik memperkuat keinginan produsen kendaraan listrik untuk bisa lepas dari ketergantungan penggunaan nikel dan kobalt pada baterai.
Walau LFP memiliki keunggulan tidak bergantung pada nikel dan kobalt namun kepadatan energi pada LFP masih sekitar 50% dibanding baterai yang mengandung nikel dan kobalt. Saat ini perkembangan teknologi baterai terus terjadi, dimana pada awal tahun ini beberapa peneliti dari Massachusetts Institute of Technology sedang mengembangkan baterai dengan material organik. Berdasarkan penelitian yang telah mereka lakukan, baterai jenis ini berpotensi untuk diproduksi dengan biaya lebih rendah (karena tidak menggunakan nikel dan kobalt), memiliki konduksi listrik dan kapasitas menyimpan listrik seperti baterai yang mengandung kobalt.
Kedua, hilirisasi nikel telah memicu pembangunan smelter untuk meningkatkan kapasitas pengolahan bijih nikel. Namun, peningkatan pembangunan smelter telah meningkatkan frekuensi terjadinya kecelakaan kerja yang mengindikasikan lemahnya tata kelola keamanan kerja yang diterapkan perusahaan tambang.
Kehadiran dana asing dalam pembangunan smelter juga memicu dengan kehadiran pekerja asing yang terlibat dalam pembangunan dan pengoperasian smelter. Kedatangan pekerja asing dengan budaya, agama dan sosial yang berbeda dengan pekerja lokal berpotensi menimbulkan gesekan yang dapat memicu kerusuhan. Kondisi kerusuhan pernah terjadi di lokasi smelter yang memang pemicunya adalah kesenjangan sosial antara pekerja lokal dengan pekerja asing.
Ketiga, lokasi cadangan mineral logam tidak dapat dikendalikan oleh perusahaan tambang sehingga dimanapun cadangan tersebut berlokasi perusahaan tambang harus mengatasi segala tantangan dalam melakukan penambangan. Salah satu tantantangan tersebut berupa faktor lingkungan yang meliputi antara lain terjaganya keragaman hayati, unsur sosial dan budaya penduduk lokal di sekitar area penambangan
Saat ini banyak media asing yang menyoroti dampak pencemaran lingkungan akibat praktek penambangan nikel di Indonesia. Jika pencemaran lingkungan tidak ditangani serius, maka kondisi ini berpotensi terhalangnya produk nikel Indonesia untuk dapat diterima menjadi bahan baku teknologi yang akan digunakan dalam proses transisi energi. (*/)