Penyajian hasil quick count yang mendudukkan paslon Prabowo-Gibran sebagai pemenang satu putaran dengan perolehan suara di atas 50%, mendeklarasikan diri sebagai pemenang versi quick count, membangun narasi-narasi kemenangan merupakan upaya-upaya psychological war untuk mematikan semangat para pendukung paslon Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, namun berbagai upaya inipun tidak dapat mengobati kegelisahan Jokowi.
Kegelisahan Jokowi pasca Pilpres tercermin dari adanya keinginan Gibran untuk bertemu dengan Anies, namun ditolak oleh Anies dengan alasan beliau akan menunggu hingga rangkaian proses Pilpres selesai. Cak Imin menanggapi potensi kecurangan tersebut dengan frasa: “Kamu punya rencana, kami juga punya rencana”. Jika yang pertama adalah rencana untuk menang dengan cara apapun, maka yang kedua adalah rencana untuk mengumpulkan semua bentuk kecurangan yang akan dijadikan barang bukti jika kasus ini dibawa ke Mahkamah Konstitusi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Perlawanan masyarakat sipil yang beruntun tidak saja karena prosedur pencalonan Gibran yang bermasalah, politisasi bansos, penekanan terhadap Kepala Desa untuk tidak memilih paslon lain dengan dalih dana desa, oknum polisi diarahkan untuk meredam kritik para guru besar dan dosen yang memprotes keberpihakan Jokowi, penggiringan ASN untuk memilih pasangan Prabowo-Gibran, pembolehan presiden untuk berkampanye, tapi juga kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Tak salah jika ada anggapan, bahwa Jokowi adalah sumber segala kerusakan di Indonesia.