Oleh: Dian Fitri Sabrina, Dosen Hukum Konstitusi
Pemilu merupakan salah satu cara memberikan hak suara terhadap rakyat untuk memilih calon yang akan menduduki jabatan politik sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi dan undang-undang pemilu. Beberapa hal yang biasa dilakukan oleh partai politik untuk memperoleh suara dan kandidatnya adalah dengan cara menyampaikan gagasan dan penyelesaian masalah yang dihadapi oleh negara. Tidak sedikit partai politik memiliki tujuan yang sama namun dengan cara yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa partai politik atau pasangan calon siap dengan visi-misi agar rakyat dapat tertarik dan memberikan suaranya.
Namun sayangnya saat ini, banyak sekali pelanggaran yang terjadi dalam proses pemilu dan dilakukan secara terang-terangan. Misalnya secara normatif, presiden boleh memihak dalam pemilu berdasarkan undang-undang pemilu. Keberpihakan tersebut diartikan sebagai sebuah hak kepada presiden untuk melaksanakan kampanye. Kampanye sendiri merupakan kegiatan untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi-misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu artinya, ketika presiden memihak maka presiden dapat menguntungkan salah satu pasangan calon presiden dan dapat merugikan pasangan calon presiden lainnya.
Keberpihakan presiden harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yaitu hak presiden untuk berkampanye dalam pemilu harus dilaksanakan dengan menjalani cuti di luar tanggungan negara dan tidak menggunakan fasilitas negara. Mestinya presiden mempertimbangkan niatnya untuk memihak kepada salah satu calon presiden. Mengingat presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan dan kepala negara sesuai dengan mandat konstitusi. Artinya, presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan dan kepala negara, harus bersikap netral dan independen ketika di luar cuti kampanye. Hal ini dalam rangka menjalankan sumpah presiden untuk memenuhi kewajiban presiden dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh undang-undang dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.
Jika keberpihakan presiden mengubah apa yang ada di pikiran menjadi sebuah kebijakan atau tindakan untuk menguntungkan salah satu pasangan calon presiden atau merugikan pasangan calon presiden lainnya di atas kekuasaannya maka ini akan menjadi bentuk penyalahgunaan kewenangan. Misalnya penyalahgunaan sumber daya negara untuk kepentingan kelompok tertentu atau untuk memenangkan pasangan calon presiden tertentu. Menurut Utrecht, detournement de pouvoir atau penyalahgunaan wewenang dapat terjadi ketika suatu alat negara menggunakan wewenangnya untuk menyelenggarakan suatu kepentingan umum lainnya dari pada kepentingan umum yang dimaksud oleh peraturan perundang-undangan. Sehingga tindakan presiden tidak dapat dibenarkan secara etika dan hukum.
Hal lain yang terjadi adalah munculnya klientelisme dalam pemilu 2024. Klientelisme atau politik klien adalah pertukaran barang dan jasa untuk dukungan politik, seringkali melibatkan quid-pro-quo implisit atau eksplisit. Hal ini erat kaitannya dengan politik patronase dan pembelian suara. Sistem politik atau sosial yang didasarkan pada hubungan klien dengan patron dengan klien memberikan dukungan politik atau finansial kepada patron (dalam bentuk suara) dengan imbalan hak istimewa atau keuntungan khusus.
Di beberapa negara, seperti Yunani, terdapat kebijakan “ klientelisme ” yang jelas dimana partai politik memberikan penghargaan kepada pendukungnya berupa pekerjaan dan tunjangan yang didanai oleh pembayar pajak umum. Namun di Indonesia sendiri keberpihakan seseorang didasarkan atas imbalan kekuasaan atau jabatan jika pasangan calon presidennya menang dalam pemilihan meskipun jelas terjadi banyak kecurangan dan pelanggaran pada saat proses pemilu.
Persoalan etika dan moral sering dikesampingkan dan undang-undang hanya dijadikan alat yang mudah diutak-atik sesuai selera untuk kepentingan tertentu. Tujuan klientelisme sendiri telah berbelok menjadi cara mudah untuk mendapatkan posisi strategis di pemerintahan sehingga tidak heran sering terjadi pembelaan-pembelaan atau loyalitas seseorang terhadap pasangan calon presiden demi keuntungan yang akan didapatkan. Misalnya pembenaran terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia calon presiden dan calon wakil presiden meskipun dilakukan dengan cara curang dan menunjukkan kemunduran demokrasi. (*)