FAJAR, MAKASSAR-Sejarawan Hilmar Farid, yang juga menjabat Direktur Jenderal Kebudayaan di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, baru-baru ini merilis buku berjudul “Perang Suara Bahasa dan Politik Pergerakan.”
Buku yang diterbitkan Komunitas Bambu ini diulas dalam acara Pasang Surut Edisi Khusus di Riwanua, Perdos Unhas, pada Jumat, 26 Januari. Pembicara yang hadir Hilmar Farid (sejarawan), Besse Puspitha Syarif (pengiat Riwanua), dan Fathul Karimul Khair (pengiat Riwanua).
Menurut Hilmar, buku ini adalah hasil dari skripsinya yang sempat tertunda untuk diterbitkan sekitar sepuluh tahun yang lalu. Buku yang menelusuri kembali sejarah gerakan rakyat di masa kolonial, terutama ekspresi politik pada awal abad XX melalui surat kabar, majalah, dan buku. Dia mengurai hubungan bahasa, ideologi, dan hegemoni politik di masa pergerakan.
Pada masa kata Hilmar, ratusan surat kabar bermunculan, dengan penulis berasal dari pelbagai latar belakang, mulai dari Raden Mas Tirtohadisoerjo hingga Samaoen, seorang lulusan sekolah dasar yang pada usia 17 tahun sudah menjadi propagandis serikat buruh kereta api. Mereka mengungkapkan kritik terhadap tatanan kolonial.
Hilmar menjelaskan, konsep sentral pada masa itu adalah “Rakyat,” yang muncul dalam perang suara atau bahasa. Pada awalnya, semua individu yang memberontak terhadap kekuasaan kolonial abad ke-19 memiliki intensitas sendiri. “Misalnya, orang Bali, orang mana pun. Tidak ada pemahaman bahwa kita adalah bagian dari komunitas yang lebih besar. Tidak ada,” jelasnya.
Namun, seiring penguatan kapitalisme kolonial, orang-orang dari berbagai tempat dipersatukan di satu tempat, seperti perkebunan. Mereka yang berasal dari desa atau latar belakang yang berbeda dipersatukan dan hidup dalam sistem yang sama. Akibatnya, muncul konsep satu yang bekerja, yaitu buruh. Ditambah lagi pada masa itu, mereka mulai merasakan tekanan kekuasaan kolonial yang kuat.
“Kita hidup dalam satu kekuasaan yang mencengkram. Muncul konsep di awal abad ke-20, yaitu ‘kaum terperintah’. Banyak konsep diproduksi untuk memahami diri mereka. Kemudian, muncul konsep bangsa. Mereka melihat diri mereka sebagai bagian dari suatu kesatuan yang lebih besar. Ada evolusi dari konsep-konsep ini, dan konsep ini mengkristal menjadi ‘Rakyat’,” jelasnya.
Dalam diskusi yang dinamis itu, Hilmar juga menjawab sejumlah pertanyaan dari peserta diskusi. Misalnya, perbandingan masa pergerakan dan masa saat ini. Kata dia, pengkritik terhadap kekuasaan pada masa itu kadang berasal dari kalangan elite kekuasaan itu sendiri, seperti priyayi. Mereka memilih untuk meninggalkan gelar raden masnya, karena menurutnya, status kebangsawanan justru menghalangi cita-citanya. Bahkan, ia harus keluar dan menjalani hidup sebagai orang biasa.
Ia juga berpendapat, setiap zaman memiliki perbedaan, dan perbedaan tersebut mungkin sangat signifikan pada masa sekarang. Perbedaan paling mencolok antara masa lalu dan sekarang adalah peran kunci dalam mengarahkan pembicaraan. Utamanya di media cetak seperti koran.
Di masa lalu, redaktur dan penulis menjadi penentu arah diskusi, sedangkan sekarang, algoritma memiliki peran besar. Meskipun algoritma dianggap sebagai kreasi teknologi, dia menegaskan, tetap ada kekuatan di baliknya, seperti pemilik perusahaan besar seperti X dan Facebook.
Meskipun dia sadari, perkembangan teknologi yang memperluas akses, bahkan untuk anak-anak yang lahir dalam era teknologi bisa cepat mengenal informasi. Tugas kita, menurutnya, adalah mendemokratisasinya dengan menciptakan sebanyak mungkin alternatif terhadap yang dominan. “Tugas kita ya di dalam hal ini yakni mendemokratiskan dengan membuat sebanyak mungkin alternatif terhadap yang dominan,” jelasnya. (*/ham)