“Kolaborasi kami dengan BP2MI sangat intens. Masalah penempatan, kami di Pemprov Sulsel sudah membentuk layanan terpadu satu atap, sinergi dan kolaborasi dengan kabupaten/kota, khususnya menyangkut kelengkapan administrasi PMI,” kata dia.
Terlebih lagi, saat ini semua PMI yang berangkat ke luar negeri harus menggunakan sertifikat kompetensi. Itu sebabnya, Ardiles mengaku menjalin sinergi dengan seluruh pihak, agar kelengkapan para PMI bisa lengkap dan tuntas.
“Soal pengawasan, kami bersama Polda, Imigrasi, Pelindo, Angkasa Pura, BP3MI, bersatu melakukan pengawasan di pintu keluar, termasuk Pelabuhan Soekarno-Hatta dan Pelabuhan Garongkong. Di Parepare sudah ketat, makanya ada jalur lain di Barru. Kami sudah koordinasi dengan Polda untuk mengawasi PMI yang melewati jalur seperti itu,” sebutnya.
Berkaitan dengan kondisi PMI ilegal dari Sulsel, Ardiles mengakui masih ada delapan daerah yang menjadi kontributor terbesar. Seperti Bulukumba, Jeneponto, Bantaeng, Sinjai, Bone, dan Pinrang.
“Kami di Sulsel mengakui ada delapan daerah yang masuk kantong-kantong PMI non prosedural. Bulukumba paling banyak, mereka tidak punya visa pekerjaan. Menyikapi itu kami koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Nunukan mengenai hal apa saja yang menjadi penyebab PMI kita berangkat lewat sana,” tuturnya.
Untuk saat ini, kata Ardiles, PMI ilegal asal Sulsel yang berhasil diselamatkan ada sekitar 500 orang. Namun belum diketahui secara pasti berapa angka PMI non prosedural yang ada di luar negeri.
“PMI ilegal yang berhasil diselamatkan sekitar 500 orang. Kalau yang prosedural itu ada 326 orang. Negara tujuan paling diminati itu Malaysia, karena akses itu paling gampang lewat Nunukan,” kata dia. (wid)