FAJAR, MAKASSAR-Pemilu yang demokratis sudah semestinya menerapkan prinsip keterbukaan. Karena itu, keterlibatan publik dalam memantau prosesnya harus dibuka lebar. Namun, tampaknya kali ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara Pemilu mulai melupakan ruh keterbukaan tersebut.
Hal itu terlihat dalam uji publik rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum, Rancangan PKPU tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, dan Rancangan PKPU tentang Tahapan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2024 yang berlangsung pada Kamis (11/1/2024).
Pertama, dalam rancangan PKPU tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum, peran saksi dari nonpartai tak diakui secara tegas kedudukannya dalam proses rekapitulasi berjenjang dari kecamatan, kabupaten/kota, hingga provinsi. Sebabnya, mereka tak diberikan otoritas yang sah.
Direktur Eksekutif KEMITRAAN, Laode M. Syarif mengatakan, hal tersebut sama saja dengan mengurangi peran check and balances dari elemen masyarakat sipil dalam proses rekapitulasi karena hanya saksi dari partai yang diakui. “Semestinya saksi dari nonpartai juga diberikan otoritas yang sama seperti saksi dari partai. Sehingga mekanisme check and balances bisa berjalan optimal,” kata Syarif.
Kemudian, KPU menggunakan formulir C1 yang diunggah ke situs Sistem Informasi Rekapitulasi Suara (Sirekap) sebagai pembanding proses rekapitulasi manual berjenjang. Namun KPU belum menjelaskan mekanisme yang menjamin formulir C1 yang belum terunggah ke Sirekap karena ketiadaan internet tidak disalahgunakan. Hal ini juga berpotensi menjadi celah terjadinya kecurangan.
Ditambah pula, Rancangan PKPU ini juga belum menyertakan hak publik secara spesifik untuk mengakses Sirekap guna memantau formulir C1 yang telah diunggah. “Ini menjadi penting untuk diperbaiki karena keterlibatan publik dalam proses rekapitulasi suara sangat penting untuk meminimalisasi kecurangan,” ucap Syarif.
Kedua, dalam rancangan PKPU tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, tak diatur sanksi bagi pasangan capres dan cawapres yang tak menyertakan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK). Namun di sisi lain, partai politik yang tidak menyerahkan LPPDK dikenakan sanksi dengan tak dihitung perolehan suara mereka di Pemilu legislatif.
Akibatnya, suara calon anggota legislatif dari partai tersebut dianggap hangus dan partai tersebut tidak mendapatkan kursi di DPR dan DPRD Provinsi serta Kabupaten/Kota.
“Pertanyaannya, mengapa kandidat calon presiden dan wakil presiden tidak dikenakan sanksi bila tak menyerahkan LPPDK. Padahal keterbukaan dana kampanye penting sebagai filter awal untuk menghindari terjadinya politik uang,” tutur Syarif.
Ketiga, di rancangan PKPU tentang Tahapan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2024, KPU diperbolehkan mengubah PKPU hingga tanggal 18 November 2024. Padahal hari pemungutan suara dilangsungkan pada 27 November, yakni hanya berjeda 9 hari. Hal ini dapat mengakibatkan ketidakpastian bagi partai politik, kandidat kepala daerah, dan pemilih.
Selain itu, ketiga rancangan PKPU ini disusun dan diujikan ke publik secara terburu-buru. KPU baru membagikan dokumen rancangan PKPU setebal 80 halaman, dua hari sebelum dibahas bersama dengan partai dan elemen masyarakat sipil. Yang lebih mengkhawatirkan, ketiga rancangan PKPU ini disusun setelah melewati batas waktu pembuatan regulasi untuk Pemilu 2024, sebagaimana diatur dalam PKPU No. 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024. Beleid tersebut menetapkan waktu terakhir pembuatan PKPU adalah Kamis (14/12/2023).
Oleh karena itu, rancangan peraturan dan konsultasi ketiga PKPU ini bisa dinyatakan tidak sah dan bermasalah secara hukum. “Untuk itu, sebaiknya KPU tak melanjutkan penyusunan ketiga rancangan PKPU tersebut lantaran berpotensi melanggar ketentuan hukum yang telah mereka tetapkan,” tutur Syarif.
Diketahui, selama dua dekade KEMITRAAN bagi Pembaruan Tata Pemerintahan atau KEMITRAAN bekerja untuk mendorong prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan transparan dalam pemerintah, masyarakat dan bisnis yang sejalan dengan prinsip antikorupsi, HAM dan kelestarian alam. KEMITRAAN membangun jaringan erat dengan lembaga internasional, pemerintahan pusat hingga gerakan akar rumput, untuk berkolaborasi secara strategis. (*/)