Oleh: Nasrullah Mappatang
Dosen Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur / Mahasiswa Doktoral Universiti Malaya, Kuala Lumpur
Universitas Mulawarman, Samarinda, bersama Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan Universitas Hasanuddin, Makassar, Indonesia, pada 4-7 Desember 2023 lalu berhasil menjadi tuan rumah Workshop internasional bertema “Vulnerable Deltas in Southeast Asia” (Kerentanan Delta – delta (sungai) di Asia Tenggara) di Samarinda, Kalimantan Timur. Kegiatan ini menghadirkan peserta dari tujuh negara diantaranya Amerika Serikat dan enam negara Asia Tenggara: Thailand, Myanmar, Vietnam, Kamboja, Malaysia, dan Indonesia sendiri. Peserta dari Thailand dan Myanmar mengkaji Delta Sungai Chao Phraya, sementara itu peserta Vietnam dan Kamboja berbagi kajian mengenai Delta Sungai Mekong. Indonesia sendiri mengambil lokasi Delta Mahakam sebagai subjek kajian.
Kegiatan yang berlangsung selama empat hari tersebut diadakan di Universitas Mulawarman, Samarinda. Di samping itu, rangkaian kegiatan diselingi dengan kunjungan lapangan sehari penuh ke Delta Mahakam, kecamatan Anggana, kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Dalam momen kunjungan lapangan (field trip) inilah, para peserta termasuk saya sendiri bertemu dengan masyarakat delta Mahakam yang 99,9% adalah perantau Bugis. Tentu, mayoritas yang perantau adalah orang tua mereka sebagai generasi pertama merantau. Sementara itu, generasi kedua, ketiga, dan seterusnya sudah lahir, tumbuh, dan besar di Delta Mahakam, Kalimantan Timur.
Uniknya, beberapa di antara generasi Bugis di Delta Mahakam ini, sebagai generasi kedua perantau, yang juga sudah memiliki anak di sana, belum pernah menginjak yang namanya Tanah Bugis (Tana Ogi) di Pulau seberang Kalimantan itu, Sulawesi. Namun, bahasa Bugisnya lancar dan fasih. Bahkan, ada diantara mereka menyebut diri sebagai “Bugis Kutai”. Artinya, orang Bugis yang lahir, tumbuh, besar, dan tinggal menetap di Kutai. Terlebih, tanah Kutai sudah dianggap sebagai tanah kelahiran dan tempatnya hidup sehari – hari.
Hidup di atas air
Masyarakat Delta Mahakam, yang merupakan mayoritas orang Bugis itu, selama hidupnya hidup di atas air. Tempat tinggal dan mata pencaharian mereka berada di lingkungan perairan Sungai Mahakam dan Selat Makassar. Di atas air inilah hidup mereka digantungkan dan harapannya disandarkan. Orang – orang Bugis di Delta Mahakam, benar – benar membentuk suatu identitas baru. Selain Bugis Kutai, mereka juga boleh disebut sebagai orang Bugis Mahakam, atau lebih spesifik orang Bugis Delta Mahakam. Lazimnya, orang Bugis Samarinda menyebut saudara seperantauannya ini dengan sebutan “Orang Muara” atau “Orang Bugis Muara” (To Ogi Muara atau To Muara). Maksudnya, orang – orang Bugis yang tinggal di mulut sungai atau Muara Sungai Mahakam.
“Orang – orang muara” inilah yang hidupnya akrab dengan air. Lazimnya memang lingkungan di Asia Tenggara yang disebut oleh para ahli dengan “the region of water” (kawasan yang dipenuhi oleh air). Itulah kekhasan dari Asia Tenggara, kawasan yang dikelilingi dan dipenuhi dengan air. Dan, masyarakat Bugis di muara delta Mahakam adalah salah satu komuniti masyarakat di Asia Tenggara ini yang hidup sehari – harinya (daily life) intim dengan air. Baik itu pekerjaan sebagai nelayan tangkap, pembudidaya benih ikan dan udang, penangkap kepiting bakau, sampai petani tambak dan keramba, semua berkaitan dengan air.
Dengan demikian, perantau Bugis di Delta Mahakam, Kalimantan Timur ini boleh dikata adalah masyarakat yang hidup di atas air. Boleh dikata juga, mereka adalah pewaris masyarakat maritim yang akrab dengan kehidupan muara sungai, pesisir, dan laut. Meskipun, sebagian besar perantau Bugis yang dari daerah Bone ini, tepatnya lagi Bone bahagian Utara, adalah masyarakat agraris atau petani sawah dan kebun di kampungnya. Mereka yang kebanyakan datang pada dekade 1960 an datang sebagai petani sawah dan kebun. Nanti sekitar satu dekade kemudian, mereka “dipaksa” oleh alam untuk beralih ke petani tambak (empang) untuk budidaya ikan dan udang. Sebagian menjadi nelayan penangkap ikan dan penangkap kepiting bakau di muara Sungai Mahakam dan pesisir Selat Makassar. Lingkungan dan Mata pencaharian inilah yang menjadikan perantau Bugis di Delta Mahakam ini tak bisa lepas dari dunia air, di Asia Tenggara.
Kerentanan, Ketahanan, dan Adaptasi
Hidup di atas air di muara Sungai Mahakam bukan tanpa resiko. Kehadiran resiko tersebut menempatkan perantau Bugis ini dalam posisi “rentan” (vulnerable). Kerentanan inilah yang senantiasa dihadapi hari per hari sampai melahirkan yang namanya ketahanan (resilience) dari kerentanan (vulnerabilities). Sebutlah misalnya, banjir dan kenaikan permukaan air laut. Kedua kejadian ini merupakan resiko “ancaman” bagi orang – orang Bugis di Delta Mahakam tersebut. Namun, resiko – resiko yang dihadapi itu, juga tak jarang melahirkan adaptasi – adaptasi yang menghasilkan ketahanan dalam kehidupan sehari – hari.
Selain fenomena alam, lingkungan kerja masyarakat Bugis di Delta Mahakam ini tercabar dengan hadirnya lapangan minyak dan gas. Sumur – sumur bor dan pipa – pipa minyak dan gas terinstal dimana – mana. Di area sumur dan pemasangan pipa tersebut, sudah barang tentu merupakan area terlarang untuk menangkap ikan dan beraktivitas bagi warga. Jadinya, warga menjadi terbatasi dalam beraktivitas oleh kawasan eksplorasi dan eksploitasi perusahaan minyak dan gas ini. Dari mulai ramai pada 1960an, hanya perlu satu dekade, yaitu 1970an, fenomena alam berupa banjir dan kenaikan air laut terjadi.
Bersamaan dengan itu, maintenance lapangan minyak dan gas juga masuk di area Delta Mahakam. Dua diantaranya adalah lapangan minyak dan Gas Tambora dan Sunu. Lapangan Tambora tepat di tengah Delta Mahakam, sementara Lapangan Sunu berada persis di mulut muara Delta Sungai Mahakam. Olehnya itu, masyarakat Bugis yang bermukim di tiga desa Delta, yaitu Desa Tani Baru, Muara Pantuan, dan Sepatin boleh dikata “dikepung” oleh lapangan minyak dan instalasi pipa lapangan minyak dan gas (migas) Tambora dan Sunu tersebut.
Tak terhindarkan lagi, keberadaan lapangan minyak dan gas milik Total E&P dulunya itu, yang kemudian berganti ke Pertamina, merupakan suatu cabaran tersendiri masyarakat Bugis di Delta Mahakam dalam melangsungkan hidupnya yang banyak – banyak bergantung pada “air” sungai Mahakam dan Selat Makassar. Dimana, tak jarang percikan hingga tumpahan migas dari kedua lapangan migas tersebut sedikit banyak memberikan dampak kepada mata pencaharian orang Bugis tempatan, terutama nelayan tangkap dan petani tambak.
Refleksi
Dari kisah perantau di atas, menghadapi cabaran dan tantangan hidup di Delta Mahakam, orang Bugis terus berusaha bertahan di kehidupan yang semakin kompleks. Hidup di atas air adalah pilihan, bahkan boleh jadi terpaksa atau pilihan terakhir. Menjadi nelayan dan petani tambak adalah pekerjaan yang banyak digeluti. Selebihnya, mereka yang tak lagi punya lahan, dan tak memilih untuk melaut menangkap ikan, sebagian menjadi “buruh” penjaga tambak orang – orang kaya Anggana-Kutai, Samarinda, bahkan Balikpapan. Selebihnya, anak mudanya, banyak yang telah diakomodir bekerja di perusahaan minyak dan gas Pertamina.
Delta Mahakam beberapa puluh tahun terakhir juga identik dengan lautan empang/tambak. Permintaan pasar global yang tinggi terhadap udang windu, juga mempengaruhi perubahan lanskap lahan di Delta Mahakam. Para Haji dari hasil tambak udang berhadiran di tanah dan perairan ini. Lagu “juragan tambak” makin populer sesuai konteksnya, yaitu lahirnya jutawan dan mungkin miliarder “Bugis” dari hasil tambak udang di Delta Mahakam. Sebagian menjadi miliarder dan jutawan, meski sebagian (besar) juga masih bertahan hidup (survive) di tengah himpitan sumur minyak & gas bersama hamparan tambak, yang bukan milik mereka itu.
Itulah keragaman hierarki material (ekonomi) para perantau Bugis di Delta Mahakam. Sebagian kecil berjaya, dan lebih banyak lagi masih bertahan dan berjuang untuk menyambung hidup “di atas air” muara Sungai delta Mahakam, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Workshop Vulnerable Deltas in Southeast Asia” kemarin, benar – benar menyimpan memori dan catatan kritis terhadap para “perantau Bugis” di Delta Mahakam.
*) Tulisan ini adalah bagian publikasi dan catatan kegiatan dari rangkaian program “Vulnerable Deltas in Southeast Asia: Climate Change, Water Pollution, and Socio-Economic Transformation”, 4-7 Desember 2023.