Singkat kisah, film ini dikemas dengan alur komedi khas lokal membuat energi penonton lebih fokus untuk menyimak sampai akhir film, meskipun ada beberapa kendala teknis cukup menghambat pemutaran film, hal itu bukan menjadi suatu hambatan dan tentu jadi pembelajaran berharga bagi mereka. Ada satu kalimat yang melekat di penonton “Kukana memangja” bahkan sayapun terngiang dibuatnya. Dengan segala dialektika dan fluktuasi alurnya, Misca akhirnya mendapat kepercayaan kembali untuk disekolahkan. Dari sini kita bisa melihat bahwa pendidikan adalah jalur abadi kehidupan, pendidikan sekolah adalah bagian dari proses belajar yang tidak berujung.
Pada sesi bedah film dihadiri oleh beberapa narasumber, yaitu Ketua PGRI Bantaeng, Tim dosen ISI Surakarta Embrio ISBI Sulsel dan saya sendiri sebagai sutradara Film. Banyak hal yang kami diskusikan, dan pada akhirnya saya melihat ini sebuah pembuktian bahwa pendidikan hari ini perlu mendapatkan perhatian lebih, terkhusus pada ruang seni multimedia. Berdirinya kampus ISBI Sulsel yang sejak 2014 hingga kini dapat terselenggara atas segala dukungan dari berbagai pihak, meskipun masih tergolong muda, spirit berkesenian dalam medium audio-visual selalu kami support penuh. Sehingga harapan kami menjadikan ISBI mampu menjadi ruang, wadah kreatifitas dan pengembangan potensi skil siswa-siswi dapat tersalurkan terkhusus pada institusi pendidikan seni, contohnya pada peminatan Film dan TV, Teater, serta Desain Interior. Sebagai alumni ISBI, saya mengajak para guru dan siswa agar tetap menjalin kerja kolaboratif agar melahirkan karya berbasis lokal dan berkualitas sehingga karya tersebut dapat menjadi inspirasi dan terutamanya menjadi “guru” pembelajaran kita semua. Selamat untuk kita semua, selamat hari Guru, Salamakki.