Oleh: dr. Airah Amir*
Defense for Children International-Palestine (DCIP) menyebutkan setiap 15 menit satu anak tewas akibat serangan Israel di Gaza. Ini adalah peristiwa genosida setiap waktu.
Bahkan otoritas kesehatan di Jalur Gaza dalam rilisnya menyampaikan bahwa 7.028 warga Palestina tewas akibat gempuran pasukan Israel pada Jumat (27/10/2023), yang 66 persen di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.
Ini jelas bertentangan dengan konvensi Jenewa 1949 yang menyatakan bahwa anak-anak harus diperlakukan secara manusiawi. Mereka mesti mendapatkan perlindungan saat terjadi konflik bersenjata atau peperangan.
Pengeboman di Gaza yang sudah berlangsung selama tiga pekan telah menyebabkan penderitaan yang mengerikan bagi anak-anak, terutama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan air. (fajar.co.id, 26/10/2023).
Terlebih akses bantuan kemanusiaan seperti makanan, air, obat-obatan, dan bahan bakar dibatasi sehingga menyebabkan 2,3 juta penduduk Gaza makin sulit dalam mengakses kebutuhan pokok.
Menlu RI Retno Marsudi dalam pertemuan darurat Sidang Majelis Umum PBB untuk membahas aksi ilegal Israel di wilayah pendudukan Palestina menyebutkan bahwa eskalasi kekerasan di jalur Gaza adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Semestinya PBB harus mendesak gencatan senjata.
Apalagi, segala bentuk kecaman belum juga mengantarkan Palestina memperoleh keadilan atas tanah yang dirampas. Mengorbankan nyawa orang yang tak berdosa adalah sebuah bentuk kebiadaban. Mengancam keberlangsungan hidup bahkan mempertaruhkan nyawa rakyat sipil adalah batas merah yang tak boleh dilanggar oleh siapa pun.
Legitimasi moral telah runtuh akibat pengeboman yang dilakukan Israel di rumah sakit tempat orang-orang yang tak berdaya. Penyerangan dengan membabi buta menyebabkan lebih dari 500 orang tewas lantaran rumah sakit jadi sasaran di Gaza.
Penderitaan
Peperangan atau konflik bersenjata dalam kondisi apa pun menyebabkan keterlibatan anak yang mendorong kita untuk menghilangkan penyebab penderitaan mereka, yaitu peperangan itu sendiri. Anak senantiasa menjadi fokus kita dalam konflik bersenjata, sebab bagaimana pun peperangan selalu memberikan efek khusus bagi mereka.
Seperti berkurangnya atau bahkan hilang sama sekali akses terhadap kasih sayang dan empati karena kehilangan orangtua. Terbatasnya akses terhadap pendidikan pada masa kanak-kanak tentu berdampak buruk bagi kehidupan anak selanjutnya. Belum lagi jika peperangan telah menyebabkan disabilitas seperti kehilangan anggota tubuh, penglihatan, atau hal lainnya yang bahkan dapat menyebabkan gangguan kapasitas kognitif.
Peperangan memang telah menyebabkan kehidupan anak menjadi sukar untuk mencapai potensi seperti sebelum terjadinya perang. Anak yang terekspose oleh kekerasan dan penderitaan selama perang menimbulkan dampak jangka panjang, seperti gangguan stres pascatrauma yang meningkatkan depresi dan kecemasan pada anak.
Anak di kamp pengungsian juga sangat rentan terhadap penyakit. Kesehatan anak memburuk akibat terbatasnya akses terhadap nutrisi, jaminan air bersih, sanitasi, dan minimnya layanan kesehatan. Otoritas air Palestina mengatakan bahwa Israel telah memutus pasokan listrik dan air bersih ke Gaza menyebabkan 90 persen air di wilayah Gaza tidak dapat diminum dan menyebabkan krisis air bersih.
Terdapat hanya satu akuifer di wilayah Gaza, itu pun telah terkontaminasi bahan kimia, limbah, dan air laut. Pasokan listrik yang diputus pun juga menyulitkan operasional rumah sakit di Gaza termasuk memberi risiko bagi bayi di inkubator dan para lansia yang membutuhkan bantuan oksigen.
Persatuan Muslim
Sehingga perlu memikirkan solusi untuk mengatasi permasalahan ini. Politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif, artinya bahwa Indonesia tidak mengadopsi politik netral dalam hubungannya dengan negara-negara lain di dunia, Sebaliknya, Indonesia memiliki kebebasan untuk menentukan sikap dan kebijaksanaan terhadap isu-isu internasional tanpa mengikatkan diri pada satu kekuatan dunia tertentu.
Sikap Indonesia disampaikan Retno dalam rapat Sidang Darurat Majelis Umum PBB, Jumat (27/10/2023) yang menyebutkan bahwa faktanya serangan dan pembunuhan terus terjadi, namun di tengah banyaknya korban, Dewan Keamanan gagal mengambil tindakan tegas dan Indonesia berada dalam posisi menyerukan penghentian agresi dan mendukung masyarakat Palestina.
Dalam Islam, perlawanan terhadap agresi adalah fardu ain, yang tidak hanya berlaku bagi muslim Palestina, tetapi juga meluas bagi kaum muslim di sekitar wilayah Palestina, bahkan dunia. Sehingga, secara umum harus ada eksistensi persatuan umat yang menjadi perisai dan mencegah reduksi kondisi warga sipil terkhusus anak di tengah eskalasi konflik bersenjata. Wallahualam.(*)
*Penulis adalah pemerhati kesehatan
.