Ketika menjadi seorang pemimpin baik laki-laki maupun perempuan, tanggung jawabnya adalah menyelesaikan persoalan dan menjawab tantangan serta menawarkan solusi atas segala problematika yang terjadi, baik secara internal maupun eksternal, pemimpin dituntut paham pola, strategi dan alur komunikasi organisasi yang sejalan dan searah dengan visi dan misi sebuah organisasi.
Meski demikian, tantangan yang dihadapi perempuan ketika melaju pada sebuah gelanggang kontestasi perebutan kepemimpinan tentu tidak sedikit, termasuk masih kerapnya ditemui adanya intervensi yang mengatasnamakan keagamaan dan kesalehan bahwa kepemimpinan untuk posisi ketua umum hanya diperuntukkan bagi laki-laki, atau dalam organisasi IMM disebut dengan immawan dan kader perempuannya disebut dengan istilah immawati. Artinya problem ini bahkan bersifat struktural, tentu problem ini diharapkan tidak lagi dibiarkan terjadi, terutama saat perempuan akan masuk pada gelanggang perebutan kursi ketua umum. Pandangan diskriminasi atas nama agama yang seperti ini berimplikasi pada rendahnya keterwakilan perempuan, khususnya dalam kontestasi pergantian kepemimpinan di organisasi otonom Muhammadiyah. Padahal dari beberapa dalil-dalil yang telah dikaji majelis tarjih Muhammadiyah disimpulkan bahwa bagi Muhammadiyah bahwa perempuan dalam Islam tidaklah dilarang untuk menjadi pemimpin. (Suara Aisyiyah:2020).
Atas dasar prinsip di atas bahwa untuk hal kepemimpinan, perempuan pun mendapatkan hak yang sama dan setara, seperti halnya di Indonesia di mana perempuan pernah menduduki kursi RI 1 dan saat ini perwakilan rakyat seluruh Indonesia juga ada di tangan perempuan untuk diperjuangkan aspirasinya, sehingga terang bahwa perempuan mampu memperjuangkan hak bukan hanya dari kelompoknya. Akan tetapi, secara umum baik perempuan dan laki-laki aspirasi itu ada di tangan Ketua DPR RI, Puan Maharani.