Pada pekan ini, iklim politik di Tanah Air terguncang. Guncangan saat ini mirip dengan guncangan politik pada 3 Oktober 2022 ketika partai Nasdem melalui ketua umumnya, Surya Paloh, mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden 2024. Adalah juga Surya Paloh beberapa hari lalu “mendeklarasikan” calon wakil presiden (cawapres) dari Anies ialah Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Kesamaan kedua guncangan politik itu terletak pada “dadakan” atau “tiba-tiba” saja. Surya Paloh dengan Nasdem diketahui berada dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). KIB merupakan koalisi partai-partai pendukung pemerintah. Tanpa berkonsultasi dengan mitra koalisinya, Surya Paloh dan Nasdemnya mendeklarasikan capresnya. Sama dengan itu, tanpa berkonsultasi dengan mitra koalisinya di Koalisi Perubahan yaitu Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Surya Paloh mengumumkan Cak Imin (PKB) sebagai cawapres dari Capres Anies.
Saat Anies dideklarasikan, partai-partai selain Nasdem di Koalisi Indonesia Bersatu merasa kecewa, mungkin juga dikhianati oleh Surya Paloh dan partainya. Iklim serupa tapi di koalisi yang berbeda terjadi lagi saat Cak Imin oleh Surya Paloh ditetapkan sebagai cawapres dari Anies. Dalam tempo tidak cukup setahun, Surya Paloh dan Nasdem mengguncang dua koalisi berbeda bertema “capres dan cawapres pemilu 2024.”
Yang kecewa berat bisa menyatakan telah terjadi pengkhianatan atas kebersamaan berkoalisi dan atas kesepakatan yang telah diteken bersama. Yang membenarkan guncangan itu boleh berkata bahwa “politik itu dinamis”, dinamikanya bergerak dari menit ke menit, atau dari detik ke detik,β¦ sering tak dinyanaβ¦!
Karena guncangan politik yang demikian, ada yang tetap menyerukan agar politik di era demokrasi tidak dibawa kepada politik bebas tanpa batas. Batas kebebasan itu terdapat pada etika dan keadaban politik. Yakni: memegang komitmen dan bermusyawarah bila komitmen mau diubah. Karena keinginan agar politik itu tidak liar, ketika seorang sahabat bekas aktivis HMI bertanya tentang ke-HMI-an anak-anak saya, saya menjawabnya sebagai berikut.
Saat dua anak saya, yang sulung dan adiknya masuk studi di perguruan tinggi, saya amati, HMI tersusupi Islam radikal (Islamisme). Saya tidak melarang, cuma mewanti-wanti keduanya agar berhati-hati berorganisasi ekstra keagamaan. Kedua anak saya itu memang bersentuhan dengan HMI.
Adapun anak saya yang lain, adik-adiknya, ber-HMI melalui percakapan kami di rumah. Sebagai bekas aktivis HMI, saya dan istri tidak mau visi Insan Cita HMI dan watak independennya tidak dimiliki oleh anak-anak kami, akibat ber-HMI yang keliru. Alhamdulillah, mereka tidak ber-HMI seperti ayah dan ibu mereka. Dengan tanpa ber-HMI, mereka aman dari paham keagamaan yang radikal. Radikalisme beragama juga mengantar kepada radikalisme berpolitik, dalam pandangan saya. Guncangan politik yang muncul, boleh jadi berakar dari radikalisme politik, mungkinkah? Politik yang santun dan berkeadaban, menurut hemat saya, tidak melahirkan guncangan politik!