Beranda: Aidir Amin Daud
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Baharu akhirnya angkat suara terkait polemik penangan kasus dugaan suap yang menyeret Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi. Ia menegaskan, apa yang dilakukan jajaran KPK adalah tanggung jawab penuh pimpinan.
“Seluruh proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan perkara dugaan tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh segenap insan KPK, serta berbagai upaya pencegahan dan pendidikan antikorupsi, adalah tanggung jawab penuh Pimpinan KPK,” kata Firli dalam keterangan tertulis, Sabtu (29/7). Ia menegaskan juga bahwa seluruh kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) hingga penetapan tersangka suap proyek di Basarnas telah sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. KPK juga telah melibatkan Puspom TNI sejak awal untuk mengikuti gelar perkara sampai dengan penetapan status perkara dan status hukum para pihak terkait.
**
Sesuai pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD — ia meminta semua pihak tetap fokus pada substansi kasus dugaan korupsi. Menurut Menko polemik terkait prosedur tak perlu lagi diperdebatkan berpanjang-panjang. Mahfud juga memahami bahwa kasus OTT oleh KPK yang berujung penetapan tersangka terhadap Letkol Adm. Afri Budi Cahyanto dan Marsdya Henri Alfiandi memang bisa menimbulkan problem hukum dari sudut kewenangan.
Semua polemik berawal ketika salah Pimpinan KPK Johanis Tanak menyatakan bahwa KPK khilaf dan menyalahkan anak buah terkait penetapan tersangka Kabasarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto.
Pernyataan Tanak langsung mengundang kritik dan kecaman keras dari berbagai kalangan dan mantan pimpinan KPK. Mantan Ketua KPK Abraham Samad menilai sikap tersebut sangat memalukan. Menurut Abraham apa yang dilakukan pimpinan KPK dengan kesan mempersalahkan teman-teman penyelidik dan penyidik sesuatu yang sangat dungu dan memalukan.
Pernyataan lebih keras datang dari Bambang Widjojanto. Mantan pimpinan KPK ini juga menilai pimpinan KPK saat ini layak diberhentikan. Ia menyebutkan pimpinan KPK harus dinyatakan melakukan pelanggaran berat.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai pimpinan KPK tidak seharusnya meminta maaf. Koalisi ini menilai, langkah KPK yang meminta maaf dan menyerahkan kasus dugaan korupsi Kabasarnas dan Koorsmin Kabasarnas kepada Puspom TNI merupakan langkah yang keliru dan dapat merusak sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia. Pernyataan ini terasa penting karena koalisi ini terdiri atas: Imparsial, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Amnesty International Indonesia, Public Virtue, Forum de Facto, KontraS, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Malang, Setara Institute, AJI Jakarta, AlDP.
Menurutnya koalisi KPK seharusnya menggunakan UU KPK sebagai pijakan dan landasan hukum dalam memproses militer aktif yang terlibat dalam kejahatan korupsi tersebut. KPK, katanya, dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialis derogat lex generalis (UU yang khusus mengesampingkan UU yang umum).
**
Kita mungkin harus menghargai semua pihak yang terkait dengan polemik ini. Menghargai pandangan-pandangan yang tentu berpijak pada satu kesamaan keinginan luhur: memberantas korupsi tanpa pandang bulu.
Kita juga harus memahami bahwa memang ada ‘pandangan’ bahwa amat sulit menyeret oknum militer ke pengadilan. Meskipun kita punya catatan digital bahwa pengadilan militer biasanya memutuskan sanksi yang sangat tegas bagi personel TNI yang melanggar hukum.
Kita masih mengingat bagaimana mantan Pangkostrad Letjen TNI Djadja Suparman divonis 4 tahun penjara oleh Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya. Alumnus AKABRI 1972 itu dinyatakan bersalah mengkorupsi uang negara sebesar Rp 13,3 miliar saat menjabat Pangdam Brawijaya, Jawa Timur.
Majelis hakim yang diketuai Letnan Jenderal Hidayat Manao menyatakan Djadja tidak bisa mempertanggungjawabkan uang negara Rp 13,3 miliar dari operator jalan tol PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP) pada 1998 silam. Sebaliknya Djadja bersikeras bahwa apa yang dia perbuat bukan kategori korupsi. Alasannya uang PT CMNP merupakan bantuan natura, bukan ganti rugi atas pelepasan aset tanah Kodam seluas 8,8 hektare di Kelurahan Dukuh Menanggal, Surabaya.
Ada catatan lain terkait pidana korupsi di tubuh TNI — Majelis Hakim pada Pengadilan Militer tingkat II menjatuhkan vonis penjara seumur hidup kepada Brigjen TNI Teddy Hernayadi. Ia dinyatakan bersalah atas kasus korupsi pengadaan Alutsista di Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Selain dihukum penjara seumur hidup, jenderal bintang 1 itu juga diwajibkan mengembalikan kerugian negara sebesar US$ 12.409 atau sekitar Rp 130 miliar dan dipecat dari TNI.
Tak hanya terkait korupsi — Kolonel Infanteri Priyanto divonis penjara seumur hidup dan dipecat dari institusi Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat (AD) karena kasus pembunuhan. Vonis dibacakan majelis hakim di Pengadilan Militer Tinggi II, Cakung, Jakarta Timur.
Mungkin karena itu kita harus meyakini bahwa penyerahan kewenangan ke Puspom ABRI atas kasus OTT di Basarnas, masih akan berada dalam koridor pemberantasan korupsi yang sebaik-baiknya. Kita mungkin hanya dibuat kaget atas kedatangan para perwira tinggi TNI ke KPK — namun kita berharap ini bukanlah kedatangan untuk menghambat penuntasan sebuah perkara korupsi. Kita meyakini siapa anggota TNI yang terlibat dan bersalah dalam kasus di Basarnas akan diadili di Mahkamah militer dengan sebaik-baiknya. Lex nemini operatur iniquum, neminini facit injuriam. Hukum tidak memberikan ketidakadilan kepada siapapun dan tidak melakukan kesalahan kepada siapapun.**