“Begitu juga dengan komoditas nikel, harganya juga turun. Penurunan harga itu memengaruhi neraca devisa ekspor Sulsel,” urainya.
Negara tujuan lain seperti Jepang, Korea, Vietnam, dan Malaysia juga mengurangi volume permintaannya. Sebab beberapa negara tersebut juga terjadi kontraksi dari sisi perdagangan.
“Permasalahan nilai mata uangnya mereka. Nilai mata USD itu sangat memengaruhi volume ekspor,” katanya.
Kemudian Eropa dan Amerika juga mengurangi volume ekspor. Sebab du Eropa sedang terjadi krisis energi, sedangkan Amerika mengalami krisis geopolitik akibat perang Rusia dan Ukraina.
“Dan melihat dari beberapa sektor andalan kita memang melemah dari sisi panen. Karena terjadi perubahan iklim yang membuat rumput laut banyak tetapi harga murah sehingga ditahan untuk dijual,” papar Arief.
Menurutnya, langkah yang harus dilakukan adalah harus memperkuat komunikasi ke buyers atau harus mencari negara tujuan ekspor lain dimana produk Sulsel itu dibutuhkan.
Pemerintah harus turut andil dalam hal ini agar ada komunikasi perdagangan antar stakeholder yang terjadi dengan diwakilkan oleh atase perdangangan, serta trading internasional juga harus dimanfaatkan potensinya.
“Karena yang bisa menjual Indonesia di luar adalah pemerintah. Karena ada atase perdangan. Makanya itu yang menopang tetapi pelaku usaha juga harus terus berupaya mencari pembeli. Tetapi bergantung kalau harga turun, pasti penjual menahan,” tuturnya.
Apalagi kata dia hingga saat ini tingkat kepercayaan buyers untuk produk Sulsel masih berada di angka 20-30 persen. Karena kelebihan dan kekurangan produk itu bisa dilihat secara langsung.