FAJAR, LUTIM— Aksi perambahan hutan masih marak terjadi di Sulsel. Salah satunya yang terjadi Luwu Timur.
Bahkan aksi perambahan kawasan Hutan Konservasi Cagar Alam (CA) Faruhumpenai dilakukan oleh kepala desa Mantadulu, Kecamatan Angkona, Kabupaten Luwu Timur (Lutim) berinisial AA (49). Selain itu ada juga tersangka lain SR (49) yang juga merupakan tokoh masyarakat ditempat yang sama. Kedua telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Balai Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi.
Kasus ini bermula dari laporan masyarakat terhadap adanya aktivitas perambahan di
Kawasan Hutan Konservasi CA Faruhumpenai. Selanjutnya Balai Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi melakukan operasi tangkap tangan pada tanggal 19 Juni 2023 sekitar pukul 13.00 Wita dan berhasil mengamankan SR
Mantadulu karena terkai dugaan mengerjakan, menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah dengan cara membakar hutan. Selanjutnya tim operasi
menyerahkan tersangka SR kepada Penyidik Balai Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi.
Hasil pengembangan dan pemeriksaan Penyidik Balai Gakkum KLHK Wilayah
Sulawesi, SR melakukan perambahan kawasan hutan jonservasi CA Faruhumpenai
berdasarkan surat pernyataan atas nama masyarakat yang ditandatangani oleh Kepala
Desa Mantadulu AA. Kemudian penyidik balai Gakkum KLHK Wialayah Sulawesi menetapkan AA (49) sebagai tersangka kareana turut serta dalam kegiatan perambahan hutan
konservasi CA Faruhumpenai dengan menyalahgunakan posisinya sebagai kepala
desa.
Kepala Balai Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi, Aswin Bangun menjelaskan bahwa kedua tersangka AA dan SR dijerat dengan Undang-undang bomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan yang telah diubah pada paragraph 4 kehutanan pasal 35 angka 19,
Pasal 78 ayat 3 dan 4 juncto angka 17 Pasal 50 ayat 2 huruf “a” dan “b”. Selanjutnya Undang-undang RI nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti. Selain itu juga dijerat Undang-undang nomor 2 tahun 2022 tentang cipta kerja menjadi Undang-udang juncto
pasal 55 ayat 1ke -1 KUHP. Dengan ancaman pidana paling tinggi lima tahun dan/atau
denda paling banyak Rp7,5 miliar.