”Ini drama tragedi. Tentang balas dendam Electra, anak raja Yunani, Agamemnon, kepada ibunya, Ciytaemnestra, yang membunuh ayahnya demi harta dan berselingkuh dengan raja lain, Agesthus.
WIDYAWAN SETIADI
MAKASSAR
Pukul 11.02 Wita, ruangan di dalam Gedung Mulo gelap gulita. Lampu dipadamkan. Puluhan kursi yang tersusun rapi nyaris tak terlihat. Hanya beberapa layar ponsel para penonton saja yang menjadi tanda bahwa di sana ada orang.
Namun suasana gelap tidak berlangaung lama. Hanya sekitar 2 menit saja, sebelum akhirnya alunan musik klasik khas Yunani berderu, seiring dengan kerlap-kerlip lampu warna warni dari lighting.
Di bagian depan ada panggung dengan latar kain hitam. Luasnya sekitar 10×5 meter, cukup untuk menampung puluhan orang. Di atas panggung itu, ada delapan penari yang lenggak-lenggok sembari melempar senyum dan meggerakkan kipas secara terpadu, mengikuti alunan musik. Mereka semua perempuan.
Para penari mengenakan kostum hitam, dengan corak merah maroon seperti menyilang di bagian dada. Dipadukan dengan kipas dan hijab, yang juga merah maroon. Itu bagian dari adegan drama tragedi yang ditampilkan oleh mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris, UIN Alauddin Makassar.
Blood Vengeance Of Eletra (Balas Dendam Berdarah Dari Elektra), adalah tema yang diangkat dalam pertunjukan, yang mengisahkan sebuah tragedi Yunani. Ini diadopsi dari karya penulis drama, Euripides, pada tahun 420 SM.
Secara umum, pertunjukan tersebut menceritakan kisah tragis tentang tugas, restitusi, juga takdir Raja Agamemnon. Dia dibunuh oleh istrinya, Ciytaemnestra, sekembalinya dari Perang Troya. Itu dilakukan demi penguasaan harta dan perselingkuhan.
Dari tragedi itu, Electra membalas kejahatan ibunya dengan perlakuan yang lebih buruk, termasuk membunuh Agesthus dengan cara meracuninya. Dia pun melakukan pembalasan dendam dengan konsekuensi yang tidak terelakkan.
”Ini kolaborasi tim mahasiswa BSI AG1 dan AG2 angkatan 2021, dalam proyek kursus drama setelah analisis. Ini intrisle dan ekstrinsik dari skrip orisinil klasik menantang, tentang Electra yang sudah menyimpan kebenciannya bertahun-tahun dan membujuk adiknya, Orestes, untuk balas dendam dengan alasan untuk mengembalikan kehormatan keluarganya,” kata dosen seorang pengarah, Syahruni Junaid.
Lebih lanjut Syahruni mengatakan, Electra menggambarkan kompleksitas manusia yang hidup pada masa itu. Mereka dihantui balas dendam atas penindasan yang menimpa mereka semasa hidupnya.
Dia juga mengatakan, meskipun Electra digambarkan sebagai pribadi yang kasar dan kejam, namun jauh di lubuk hatinya, Electra juga sebenarnya merasakan kesedihan dan kehampaan yang mendalam.
”Dia memang terkenal kejam, membunuh tanpa menyentuh. Itu karena dia terbelenggu dendam. Meskipun pada masa itu, di Yunani itu berlaku norma bahwa anak-anak tidak boleh jahat dengan orang tua. Tetapi karena dia sudah dibalut dendam, akhirnya tetap saja dilakukan,” jelasnya.
Syahruni juga mengatakan, pertunjukan drama ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mendalami pemahaman mata kuliah. Hal ini bahkan sudah dilakukan sejak 10 tahun yang lalu. Sehingga, pementasan dianggap sebagai hal tepat untuk menanamkan pemahaman dan kreativitas yang lebih luas.
”Mereka akan lebih cepat faham. Karena mendalami perannya masing-masing. Bagaimana menjadi Electra dan yang lainnya. Mereka juga bisa lebih kreatif dan tahu betul bahwa jurusan BSI tidak mentok menjadi guru atau pengajar privat, tapi jauh lebih besar dan lebih luas dari itu,” kata dia.
Sementara Muh Fairuz Fuadi, direktur produksi drama tersebut mengaku, persiapan dilakukan dalam dua bulan. Menurutnya, tidak mudah menggarap pertunjukan ini. Mengingat, naskah asli harus dipelajari dan dianalisis, kemudian digabungkan dengan kreasi mereka sendiri.
”Memang lumayan sulit, karena tahapannya tidak singkat. Butuh persiapan dua bulan sampai bisa oentas begini. Beruntungnya kami didampingi Bu Uni dan beberapa mentor yang lain. Jadi penulisan naskah sampai pembagian peran berjalan baik,” be:rnya.
Kata Fairuz, hal yang paling sulit dalam menggarap pertunjukan drama ini adalah proses penyatuan. Setiap peran harus disatukan dan dipadukan dengan musik yang sudah mereka aransemen sendiri.
”Itu yang paling sulit. Karena kan latihan awalnya mereka terpisah-pisah, mendalami peran masing-masing. Kemudian harus digabungkan menjadi satu, termasuk perpaduan musiknya juga. Tapi syukur alhamdulullah semuanya berjalan lancar,” terangnya.