Oleh: Sri Rachma AB, Guru Besar Bidang Pemuliaan dan Genetik Ternak Unhas
Konsep swasembada daging sapi dan kerbau adalah salah satu program kementerian berdasar pada asas kemandirian dan kedaulatan pangan. Pengertiannya adalah pemenuhan daging sapi minimal 90 persen untuk dikonsumsi dipasok dari sapi domestik, sementara 10 persen sisanya dipenuhi melalui impor, baik dalam bentuk sapi bakalan maupun daging sapi beku.
Masih terjadi setiap tahunnya saat menjelang Idul Adha, pasokan sapi hidup masih menjadi tantangan dan problem. Kesulitan mendapatkan pasokan sapi dalam negeri membuat pemerintah membuat kebijakan untuk mengimpor sapi dan kerbau dari Brasil dan India yang relatif lebih murah. Padahal mengimpor daging demi memenuhi kebutuhan nasional sangat kontraproduktif dengan cita-cita swasembada daging sapi dan kerbau. Padahal kedua negara asal impor sapi dan kerbau tersebut belum terdaftar dalam negara bebas penyakit mulut dan kuku (PMK).
Program swasembada daging sapi yang sudah dijalankan pemerintah sejak tahun 2000 sebagai upaya negara menjadikan daging sapi berdaulat di negeri sendiri belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan yang signifikan. Terlihat dari catatan populasi sapi dalam negeri dari Badan Pusat Statistik tahun 2022 bahwa jumlah populasi sapi potong di Indonesia baru mencapai 18,61 juta ekor.
Beragam strategi pernah dilakukan pemerintah guna mencapai target swasembada daging sapi namun hingga kini belum kunjung terealisasi. Target Indonesia mampu memenuhi kebutuhan daging sapi secara mandiri pada tahun 2005 melalui Program Kecukupan Daging Sapi, namun kurangnya anggaran hingga maraknya pemotongan sapi betina membuat harapan tersebut tidak terpenuhi.
Selanjutnya program dengan skema Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi dengan target capaian pada tahun 2010 melalui strategi optimalisasi kelahiran, penyediaan bibit bermutu dan pengembangan SDM melalui Kelembagaan juga belum membuahkan hasil. Di era kabinet kerja Kementerian Pertanian setidaknya ada dua menteri pertanian yang menjabat dengan program yang mirip yaitu Upaya Khusus SIWAB (Sapi Indukan Wajib Bunting) oleh Amran Sulaiman dengan proyeksi Indonesia mampu memenuhi kebutuhan daging sapi bahkan menargetkan akan mampu mengekspor daging ke luar negeri hingga tahun 2022 yang ternyata lagi-lagi gagal memenuhi target. Program pun dilanjutkan dan dituangkan dengan nama Program Peningkatan Produksi Sapi dan Kerbau Komoditas Andalan Negeri (SIKOMANDAN) oleh Syahrul Yasin Limpo dan diklaim program tersebut mampu meningkatkan populasi sekaligus akan mensejahterakan peternak. Namun, target pengendalian penyakit hewan dan peningkatan reproduksi yang dicanangkan pemerintah hingga tahun 2022 itu juga tidak tercapai. Buktinya hingga Hari raya Idul Fitri tahun 2022 ternyata lebih dari 40 persen kebutuhan daging Indonesia masih terus bergantung pada daging impor.
Berdasarkan data terbaru Badan Pangan Nasional tahun 2023, produksi daging sapi dan kerbau nasional hanya memenuhi 52,9 persen dari total kebutuhan nasional. Secara rata-rata, produksi daging sapi dalam negeri hanya menyumbang 55 persen sepanjang tahun 2020-2022, sisanya tentu harus dengan mendatangkan daging impor (Kompas, 19 Juni 2023). Kondisi tersebut menunjukkan harapan dan cita-cita swasembada daging sapi masih sebatas angan-angan. Gagalnya program swasembada daging sapi dan masalah dalam peternakan di Indonesia antara lain disebakan oleh laju pertambahan populasi yang kalah cepat dibandingkan dengan permintaan dan konsumsi masyarakat. Penyebabnya antara lain karena keterbatasan pemanfaatan lahan potensial sebagai basis budidaya sapi selain karena keterbatasan permodalan di kalangan peternak sehingga kegiatan pembibitan sapi pun belum berkembang. Namun secara umum bahwa akar masalah swasembada daging sapi dan kerbau tersebut adalah ketidaktercapaian kesejahteraan yang memadai pada peternak sapi rakyat sehingga minat masyarakat untuk beternak semakin menurun. Data statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan tahun 2022 menunjukkan jumlah pelaku usaha sapi potong turun dari 5.078.979 rumah tangga pada tahun 2013 menjadi 4.642.186 rumah tangga pada tahun 2018 Kondisi itu menjadi indikator bahwa minat untuk menjadi peternak sapi di Indonesia adalah menurun (Kompas 19/06/2023). Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menyebutkan bahwa partisipasi konsumsi daging sapi di Indonesia sekitar 7,76 persen yang secara harfiah bahwa masyarakat Indonesia yang mengkonsumsi daging hanya 7,76 persen.
Masalah pokok yang dihadapi peternak adalah kesejahteraan. Program pemerintah yang selama ini targetnya adalah untuk meningkatkan populasi ternyata tidak berdampak pada kesejahteraan peternak. Dewan pakar PB ISPI dan Komite Pendampingan Petani menyebutkan bahwa pemerintah harus segera mereorientasi target dan sistem swasembada sapi karena sesungguhnya program swasembada daging sapi ternyata hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat dan para pedagang besar, bukannya keuntungan untuk peternak di pedesaan. Oleh karena itu, jika pemerintah ingin mengembangkan peternak sapi potong dalam negeri dengan target peningkatan populasi dan kesejahteraan peternakan dengan program swasembada daging sapi sebaiknya dihentikan saja (Kompas 20/06/2023).
Semoga Presiden terpilih pada pemilu 2024 mendatang dapat memikirkan dan memulai mengambil langkah ekstrim untuk pengembangan peternakan menggunakan input teknologi modern untuk memenuhi kebutuhan daging nasional yang harus dapat mensejahterakan masyarakat, khususnya peternak rakyat. (*)