Oleh: Hafid Abbas, Ketua Dewan Senat PTN Indonesia
Satu analogi menarik dari isi kuliah umum Presiden Soekarno di hadapan para mahasiswa, dosen dan seluruh unsur sivitas akademika UGM di kampus UGM pada 21 Februari 1959. Pada saat itu, mengawali kuliah umumnya, Bung Karno mengomentari cara ananda Lina, mahasiswa UGM, yang baru saja selesai memimpin lagu Indonesia Raya. Kepemimpinan Lina itu dianalogikan oleh Bung Kano bagaimana membangun Indonesia berdasarkan Pancasila.
Dikemukakan: “Di dalam penyelenggaraan masyarakat adil dan makmur semua memberikan tenaganya. Insinyur-insinyur memberi tenaganya, dokter-dokter memberi tenaganya, tukang-tukang gerobak memberi tenaganya, ahli-ahli ekonomi memberi tenaganya, semua memberi tenaganya. Bercorak macam, tetapi toh menjadi satu harmoni, menyusun satu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Tadi juga demikian, macam-macam suara saya dengar. Tetapi di bawah pimpinan ananda Lina, bukan main merdunya. Saya dengar ada suara bas; saya dengar ada suara laki-laki tetapi sopraan, seperti burung sikatan suara itu. Saya mendengar ada suara yang gemetar, ada suara yang betul-betul bergelora, tetapi semuanya bersama-sama memperdengarkan satu lagu “Indonesia Raya” yang membangkitkan keharuan hati”
Analogi ini kelihatannya juga tepat dijadikan model bagaimana memimpin satu perguruan tinggi (PT) dengan menghadirkan iklim kehidupan akademik di kampus yang kondusif, tatakelola kegiatan tri-dharma yang baik (good governance), bermutu dan bereputasi sehingga PT itu bergerak ke pencapaian reputasi berkelas dunia (world class university).
Di antara sekitar 4600 PT (Dikti, 2021) di tanah air, menurut versi QS ternyata hanya empat yang masuk pada kategori terbaik di peringkat di bawah 600 di dunia pada 2021, yaitu: UGM di urutan 254, kemudian disusul UI di 305, ITB di 313, dan Universitas Airlangga di 512-530. Keadaan ini berbeda dengan di Hong Kong, Singapura atau di Australia atau di negara-negara maju. Di Hong Kong, misalnya, hanya memilki delapan PTN, tetapi semuanya berkualitas dunia, bahkan tiga di antaranya masuk pada kategori 100 terbaik di dunia, yakni: University of Hong Kong di peringkat ke-31, disusul Chinese University of Hong Kong di urutan ke-45, dan the Hong Kong University of Science and Technology di posisi ke-58.
Salah satu penyebab dari kelangkaan kehadiran PTN yang bereputasi dunia di tanah air kelihatannya bersumber dari munculnya faksi-faksi politik internal kampus yang menjauh dari ciri sebagai satuan masyarakat ilmiah (scientific community) setiap kali masa pergantian rektornya. Situasi yang tidak kondusif itu dipicu dengan terbentuknya kelompok-kelompok pendukung setiap calon yang terkadang saling menyerang baik secara terbuka atau sembunyi-sembunyi.
Jika suasana dikotomis itu terjadi, tentu harapan Bung Karno untuk menghadirkan kepemimpinan kampus yang harmonis, produktif dan bersinergi satu dengan yang lain, akan hanya jadi angan-angan belaka.
Model Pemilihan Rektor di PTN
Sejak Indonesia merdeka, mekanisme pergantian kepemimpinan di PTN tampaknya terpola dalam beragam variasi.
Pertama, di era masa awal kemerdekaan, Presiden Soekarno (1950), mengangkat Rektor UI untuk memimpin sejumlah PT melalui penerapan kebijakan multi campuses management dengan menempatkanUI sebagai pembina dan pengelola berbagai kampus di tanah air dengan keunggulannya masing-masing, misalnya kampus UI di Bogor untuk Pertanian dan Kedokteran Hewan; di Bandung (Teknik, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam), Surabaya (Kedokteran dan Kedokteran Gigi), dan Makassar (Ekonomi dan Hukum), dst.
Dengan pendekatan itu, mutu PT merata dengan corak keunggulan lokalnya masing-masing sehingga dapat menciptakan harmoni saling ketergantungan antarpulau dan antardaerah di seluruh tanah air.
Kedua, di era Orde Baru, kewenangan pengangkatan Rektor sepenuhnya diserahkan kepada Presiden. Alasannya, PT dinilai sebagai institusi teknis, bukan institusi politik sehingga tidak perlu melalui mekanisme pemilihan, tetapi melalui penunjukan atau penugasan kepada siapa pun, yang dinilai memenuhi persyaratan baik dari dalam atau dari luar PTN itu sendiri.
Ketiga, di lingkungan Kementerian Agama, mekanismenya tertuang pada Pasal 4 Peraturan Menteri Agama Nomor (PMA) Nomor 68 Tahun 2015, yang menyebutkan ada empat tahapan yang harus ditempuh, mulai dari penjaringan bakal calon, pemberian pertimbangan, seleksi, dan penetapan.
Pada tahap seleksi, Menteri Agama (Menag) membentuk Komisi Seleksi yang beranggotakan minimal tujuh orang yang bertugas melakukan verifikasi faktual, uji kelayakan dan kepatutan terhadap hasil penjaringan bakal calon dan sudah mendapat pertimbangan dari Senat universitas. Komisi ini dituntut mengeluarkan tiga nama untuk diserahkan kepada Menag dan selanjutnya pada tahap terakhir, Menag akan menentukan satu di antara tiga nama calon yang telah diajukan itu untuk ditetapkan sebagai Rektor.
Keempat, mekanisme pemilihan Rektor pada PTN di lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi lain lagi, mengacu pada Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 19 Tahun 2017 dan Nomor 21 Tahun 2018. Tahapannya dimulai dengan penjaringan bakal calon oleh Senat. Pada tahap pertama akan dihasilkan paling sedikit 4 bakal calon Rektor. Pada tahapan selanjutnya, Senat akan memilih tiga di antaranya yang dinilai memenuhi kualifikasi. Selanjutnya, pada tahap penentuan, pemilihan dilakukan dalam rapat Senat Tertutup yang dihadiri oleh anggota Senat dan Menteri untuk memilih calon terbaik dari tiga calon. Pada tahap ini, Menteri memiliki hak suara sebesar 35 persen sementara Senat memiliki hak suara sebesar 65 persen.
Dengan penggabungan itu, siapa pun dari tiga calon yang telah memperoleh suara terbanyak, dialah yang akan ditetapkan oleh Menteri sebagai Rektor.
Mengakhiri Kekisruhan Kepemimpinan Perguruan Tinggi
Untuk menghindari beragam kekisruhan dan polarisasi kehidupan kampus, dan berbagai kasus pemilihan Rektor seperti di UNS pada April lalu, dari keempat model pemilihan itu dengan segala plus minusnya, kelihatannya Kemendikbudristek perlu secepatnya mengambil satu kebijakan inovatif dan aspiratif untuk mengembalikan marwah institusi PT sebagai komunitas masyarakat ilmiah bukan komunitas politisi yang terbelah-belah.
Kembali kepada Lina, Bung Karno menuturkan: “Meskipun bermacam-macam alat, tetapi oleh karena ada pimpinan, pertama pimpinan daripada satu lembaran kertas, — apa namanya itu noot, bahasa Indonesianya not.
Pola pembangunan yang dibuat oleh Dewan Perangcang Nasional ini, itulah kertas notnya. Penyelenggara dari-pada pola ini, masyarakat ini tadi, yang terutama sekali terdiri daripada tenaga-tenaga fungsionil, menyelenggarakan pola ini bersama-sama di dalam satu irama yang merdu sehingga terselenggaralah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila …”
Terakhir, dengan analogi ini, dapatkah setiap PTN menyiapkan kertas notnya masing-masing dalam kerangka rencana induk pengembangannya (RIP) atau RPJP-nya dengan segala tahapannya menuju ke taraf world class university. Siapa pun kelak yang memimpin satu PT, ia akan dipandu oleh kertas notnya masing-masing sehingga sang dirigent kampus dapat melaksanakan seluruh kegiatan tri-dharmanya secarabersama-sama dengan seluruh unsur sivitas akademikanya di dalam satu irama yang merdu sehingga kelak terwujudlah dan terselenggaralah PT yang berkulalitas dunia seperti yang didambakan bersama. (*)