English English Indonesian Indonesian
oleh

Ekonomi Hijau, Solusi Menjawab Tantangan Perubahan Iklim

FAJAR, MAKASSAR– Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia (BI) turut berkontribusi dalam mengembangkan instrumen pasar keuangan hijau dan berkelanjutan.

Keuangan berkelanjutan (Sustainable Finance) merupakan salah satu dari enam isu prioritas di bidang keuangan, yang diangkat pada Presidensi G20. Ini upaya mengembangkan sumber pembiayaan yang dapat mengatasi perubahan, termasuk risiko transisi menuju ekonomi rendah karbon.

Sehingga butuh sinergi dari seluruh pemangku kepentingan, untuk mengimplementasikan kerangka kerja yang kompeten. Ini perlu dilakukan demi terciptanya ruang memperkuat aspek fundamental dan infrastruktur ekosistem keuangan berkelanjutan.

Tujuannya jelas, untuk mempercepat pembangunan konsep hijau dan berkelanjutan, dengan harmonisasi pertumbuhan ekonomi dan aspek lingkungan sosial. Indonesia juga telah berkomitmen lewat Perjanjian Paris pada 2015 lalu.

Saat itu, Indonesia bertekad ambil bagian dalam upaya mengurangi pemanasan global bukan rumah batas 2 derajat selsius, juga berupaya maksimal tidak melewati 1,5 derajat selsius.

Sehingga, seluruh regulator terkait diharapkan melakukan perencanaan matang, demi mencapai kesejahteraan masyarakat. BI juga telah berkolaborasi dengan banyak pihak untuk mendorong kesadaran terkait hal ini sampai pada penerapannya di pasar keuangan, juga ekonomi secara keseluruhan.

Mengingat, konsep ini dianggap efektif dalam menjawab tantangan perubahan iklim. BI juga sudah mempersiapkan UMKM hijau untuk mendukung konsep ini, sebagai salah satu inisiatif dalam kerangka kebijakan ekonomi dan keuangan hijau.

Upaya dan proses transformasi itu diterapkan pada sisi kebijakan dan kelembagaan. Dari sisi kebijakan, BI mendorong terciptanya pembiayaan berwawasan lingkungan lewat peraturan rasio Green Loan to Value (LTV) atau Financing to Value (FTV), Green Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM), serta instrumen pasar uang hijau.

Sementara dari sisi kelembagaan, BI berusaha melanjutkan transformasi aspek tata kelola, manajemen risiko, strategi, dan kinerja indikator hijau. Ini komitmen BI mengawal transformasi hijau dari semua aspek, sehingga dapat menjadi best practice kelembagaan sekaligus bank sentral hijau.

Sejalan dengan itu, mobilisasi pembiayaan hijau juga diperlukan untuk mendukung ekonomi berkelanjutan. Khususnya untuk memitigasi perubahan iklim yang menjadi tantangan sekaligus peluang baru bagi perkonomian.

Sinergi antar otoritas keuangan dan pelaku usaha diharapkan menjadi tulang punggung transisi menuju ekonomi rendah karbon. Perlu kolaborasi pada sektor riil, keuangan, maupun regulator, untuk ekosistem ekonomi dan keuangan berkelanjutan dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim.

Sebab kebijakan keuangan hijau dan inklusif, berperan penting dalam hal menciptakan sistem keuangan berkelanjutan. Itu untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) pada 2030 mendatang.

Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan juga tidak jarang mendorong implementasi ekonomi hijau. Mulai dari energi hijau, keuangan hijau, teknologi hijau, hingga produk hijau.

Untuk mengakselerasinya, Indonesia sudah bergabung dengan Clean Energy Demand Initiative (CEDI), sebuah inisiatif dari Pemerintah Amerika Serikat (USA) yang bersedia melakukan investasi di sektor energi bersih.

”Sebagai implementasi Indonesia menuju energi hijau, bangsa ini sudah menetapkan sejumlah target yang harus dicapai. Misalnya penggunaan energi baru dan terbarukan, yang diharapkan porsinya mencapai 23 persen di energi primer pada 2025,” ungkapnya.

Melaui target itu, pengurangan emisi karbon diharapkan bisa mencapai 29 sampai 41 persen, berdasarkan target Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2030. Termasuk net zero emission pada 2060 atau bisa saja lebih cepat dengan dukungan internasional.

Jokowi juga sempat melontarkan pernyataan, pemerintah memiliki strategi besar menuju ekonomi hijau. Indonesia akan mengarah pada green economy, karena bangsa Indonesia mempunyai kekuatan besar.

”Kita harus mulai menatanya. Namun kebutuhan pembiayaan tidak bisa mengandalkan APBN. Pemerintah butuh sinergi dengan swasta, bahkan bantuan organisasi internasional, agar dapat berjalan optimal,” lanjutnya.

Pemerintah juga memberikan dukungan kebijakan dan kerangka peraturan yang lebih praktis dan menguntungkan sektor swasta. ”Konteks isu keuangan hijau berkelanjutan itu diterjemahkan oleh industri keuangan tanah air. Terutama perbankan dengan memperkuat bisnis utamanya,” kata dia.

  • Dukungan Perbankan

Dalam upaya memaksimalkan kebijakan ini, sejumlah perbankan turut memberi dukungan. Mengingat, perbankan sendiri merupakan salah satu motor penggerak perekonomian. Sehingga, portofolio pembiayaan hijau mulai dikuatkan untuk mendanai proyek yang sejalan dengan arah pembangunan berkelanjutan.

PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, misalnya. Pada tahun 2022 mereka telah mencatat portofolio terhadap pembiayaan berkelanjutan sebesar Rp226,3 triliun. Itu akan berlangsung sampai semester pertama saja.

Jumlah tersebut juga sudah mewakili 25 persen dari total kredit yang disalurkan oleh perseroan. Angka itu bahkan tercatat konsisten terus mengalami pertumbuhan.

Dibandingkan posisi pada 2019, saat itu portofolio mereka masih di kisaran 20 persen. Porsi pembiayaan terbesar menyasar sektor perkebunan, terutama industri kelapa sawit berkelanjutan. Selain itu, sektor transportasi dan energi bersih juga mendapat porsi.

Begitu juga dengan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Mereka telah membukukan portofolio pembiayaan hijau hingga Rp657,1 triliun atau 65,5 persen dari total kredit yang disalurkan hingga Juni 2022.

Dari total portofolio tersebut, mayoritas telah disalurkan kepada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang merupakan bisnis utama dari Bank BRI. Selain UMKM, pembiayaan hijau BRI menyasar sektor energi, transportasi, bangunan ramah lingkungan, pengairan, dan lainnya.

Komitmen kedua bank dengan aset terbesar di Indonesia itu menjadi gambaran keseriusan industri perbankan dalam praktik ekonomi berkelanjutan. Khususnya, menjadi bagian dari kerangka Presidensi G20 lalu.

  • Bersifat Antisipatif

Pengamat keuangan Unismuh Makassar, Sutardjo Tui menilai, dalam konteks saat ini, Sulsel belum terlalu urgent untuk penerapan ekonomi hijau. Sebqb, kondisi lingkungan masih tergolong baik.

Masih banyak wilayah hutan di Sulsel. Kemudian lokasi-lokasi hijau juga masih ada di mana-mana. Polusi pun belum begitu masif terjadi, tidak seperti Jakarta maupun beberapa kota besar lainnya.

”Saya rasa Sulsel belum urgent untuk penerapan itu. Kalaupun itu diterapkan, berarti sifatnya lebih kepada tindakan antisipatif,” kata dia kepada FAJAR, Minggu, 28 Mei.

Lebih lanjut dia mengatakan, ekonomi hijau lebih berorientasi pada arah menuju ekonomi rendah karbon. Termasuk memdorong masifnya kendaraan listrik dibandingkan kendaraan konvensional yang menggunakan BBM.

”Makanya kendaraan listrik masif didorong. Supaya polusi tidak begitu banyak lagi. Kan tujuannya ini rendah karbon, tidak banyak lagi polusi yang menumpuk,” kata dia.

News Feed