English English Indonesian Indonesian
oleh

Dimensi Ekonomi Keagamaan

Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf                                                                                     Tenaga Pengajar FEB Unhas/ KIomisaris Utama PTPN IX

DALAM pandangan umum, Ramadan lebih dominan dianggap sebagai bulan ibadah yang bersifat transendental. Lalu, Idulfitri adalah hari kemenangan kembali ke fitrah layaknya bayi yang baru lahir, tanpa dosa.

Sejatinya Ramadan dan Idulfitri dengan berbagai ritualnya, juga memiliki dimensi sosial dan ekonomi yang besar. Ritual Ramadan dan Idulfitri berdimensi ganda, yaitu transendental dan horizontal.

Keduanya tidak bisa diamati dari dimensi hubungan seorang muslim dengan tuhannya saja, tetapi juga dimensi ekonominya sebagai ibadah sosial. Hal ini berkaitan dengan kewajiban melaksanakan zakat fitrah, keutamaan sedekah, infak, hingga perilaku konsumtif yang menggerakkan ekonomi.

Data perkembangan ekonomi secara nasional dan regional, Sulawesi Selatan (Sulsel) menunjukkan pertumbuhan ekonomi pada momen Ramadan selalu lebih tinggi dibandingkan di luar Ramadan. Secara sektoral, pemicunya adalah sektor perdagangan dan transportasi. Atau dari sisi pengeluaran dipicu oleh konsumsi barang-barang kebutuhan pokok.

Momentum Ramadan juga selalu menimbulkan kekhawatiran pemerintah karena peningkatan konsumsi yang tidak diimbangi oleh penyediaan barang secara seimbang ikut memicu inflasi. Kondisi ini merugikan bagi mereka yang berpendapatan tetap, tetapi menguntungkan bagi pedagang karena menerima margin harga yang lebih tinggi.

Pertumbuhan-Inflasi

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi yang diikuti oleh inflasi tinggi tidak memberikan efek riil terhadap peningkatan daya beli masyarakat. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi tinggi yang diikuti inflasi tinggi tidak berdampak terhadap perbaikan kesejahteraan.

Sebagai ilustrasi, rumah tangga yang memiliki pendapatan Rp1 juta per bulan meningkat 5 persen, yaitu menjadi Rp1,05 juta. Awalnya rumah tangga mampu membeli beras 20 kilogram per bulan dengan harga Rp12.500 per kilogram, sisanya untuk konsumsi kebutuhan lainnya. Dengan asumsi pendapatannya meningkat 10 persen dan harga beras tidak mengalami kenaikan, maka jumlah beras yang dapat dibeli menjadi lebih banyak.

Situasinya berbeda jika kenaikan pendapatan 5 persen juga diikuti oleh kenaikan harga beras sebesar 5 persen. Efek kenaikan pendapatan terhadap konsumsi beras tidak ada. Atau bahkan berpotensi mengurangi konsumsi secara keseluruhan karena peningkatan harga beras akan memicu kenaikan harga komoditas lainnya. Efeknya bersifat psikologis, yaitu kepanikan masyarakat yang disebabkan oleh ekspektasi bahwa harga komoditAS lainnya akan ikut naik.

Pemerintah akan selalu dipusingkan oleh inflasi tinggi karena meningkatkan jumlah penduduk miskin melalui penurunan daya beli masyarakat berpendapatan tetap dan rendah. Inflasi tinggi menyebabkan biaya hidup meningkat. Penduduk yang tadinya tidak termasuk miskin berdasarkan ukuran kemampuan memenuhi kebutuhan minimum sebesar 2.100 kilo kalori, seketika menjadi miskin dengan adanya kenaikan inflasi.

Pemerintah dianggap sukses jika mampu menjaga pertumbuhan ekonominya tetap tinggi tanpa diikuti oleh kenaikan inflasi. Artinya, pendapatan masyarakat meningkat tanpa disertai oleh kenaikan harga-harga umum secara drastis. Inflasi rendah meningkatkan daya beli masyarakat dan mengurangi jumlah penduduk miskin.

Secara teoritis dan pengalaman berbagai negara, pertumbuhan ekonomi tinggi selalu disertai oleh kenaikan inflasi. Artinya, inflasi yang terkendali tetap penting untuk memacu pertumbuhan ekonomi, misalnya lebih kecil dari 5 persen. Inflasi lebih besar 5 persen akan menggerogoti pertumbuhan ekonomi.

Fokus pemerintah ke depan berkaitan dengan momentum hari besar keagamaan adalah menjaga agar peningkatan konsumsi masyarakat dapat diimbangi oleh ketersediaan barang sehingga tidak memicu inflasi. Hal ini penting untuk menjamin kenyamanan beribadah, khususnya bagi ibu-ibu rumah tangga yang setiap harinya bersentuhan dengan harga barang kebutuhan pokok.     

Momentum Pertumbuhan

Ramadan adalah fasilitas yang disediakan oleh Allah Swt untuk meningkatkan kegiatan ibadah karena ganjaran pahala yang berlipat ganda. Antusiasme beribadah selama Ramadan harus bisa dipertahankan di luar Ramadan. Demikian juga ibadah sosial, momentum pertumbuhan ekonomi tinggi selama Ramadan harus bisa dipertahankan di luar Ramadan.

Sehingga tugas pokok pemerintah adalah menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi dengan mengalihkan belanja pemudik dari yang bersifat konsumtif kepada hal-hal yang lebih produktif. Excess liquidity pemudik dapat dialokasikan dalam rangka memperbesar skala usaha atau membuka usaha baru.

Fenomena selama Ramadan adalah tingginya arus mudik dari satu kota ke kota lainnya atau dari kota ke desa. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan pergerakan orang tetapi juga pergerakan modal yang meningkatkan perputaran uang di daerah. Selama ini, pemudik membelanjakan kelebihan likuiditasnya hingga jutaan rupiah per keluarga untuk berbagai keperluan, termasuk memberikan sadaqah kepada keluarga yang ada di desa.

Terlepas dari besarnya dana yang dibelanjakan oleh pemudik, terdapat potensi pembiayaan investasi dari para pemudik, khususnya mereka yang sukses di kota. Kelebihan likuiditas pemudik dapat dikelola oleh pemerintah sehingga fokus pengeluaran tidak hanya bersifat konsumtif, tetapi lebih produktif berkaitan dengan pembukaan usaha baru di daerah.

Salah satu negara yang sukses memanfaatkan potensi masyarakatnya yang ada di perantauan adalah China. Masyarakat China yang sukses dalam dunia bisnis di negara lain tetap menjadi bagian integral dari jaringan bisnis negara China secara global. Tidak heran jika kisah sukses pembangunan ekonomi China saat ini sebagian merupakan kontribusi dari masyarakat China yang ada di perantauan, termasuk Indonesia.

Sulit menyaingi China yang penduduknya sangat besar mencapai sekitar 1,4 miliar jiwa. Namun dalam skala yang lebih kecil, potensi masyarakat Sulsel yang ada di perantauan sangat besar. Data Kemenhub menunjukkan salah satu arus mudik terbesar adalah tujuan Kota Makassar dari berbagai daerah di Indonesia.

Kondisi yang hampir sama juga terjadi di Kaltim dan sekitarnya. Banyak warga Sulsel yang sukses berbisnis di Balikpapan, Samarinda, Tenggarong, Bontang, Nunukan, dan lainnya dapat bersinergi membuka usaha baru di Sulsel. Demikian juga dengan warga Sulsel di Jawa dan Sumatera mengalami homesick atau home biased (rindu kampung halaman) yang dapat dikelola sehingga pengeluarannya produktif.  

Pemerintah Sulsel dapat bekerja sama dengan Kerukunan Keluarga Susel (KKSS) yang terdapat di setiap daerah, bahkan di beberapa negara membangun bank data mengenai jumlah dan kegiatan usaha masyarakat Sulsel di perantauan. Bank data menjadi sumber informasi untuk mendorong partisipasi warga Sulsel perantauan berinvestasi di Sulsel.

Pemerintah daerah tidak mungkin hanya mengandalkan pembiayaan dari anggaran pemerintah daerah yang jumlahnya terbatas. Pemerintah daerah membutuhkan partisipasi diaspora Sulsel di rantau untuk menggerakkan pembangunan ekonominya.

Akhirnya, pemerintah daerah cukup memberikan insentif khusus nonfiskal, misalnya kemudahan perizinan dan memperoleh lahan sebagai tempat usaha. Membangun saluran komunikasi dengan diaspora Sulsel di perantauan melalui KKSS sehingga sifat homesick menjadi lebih produktif dan berdampak pada kesejahteraan masyarakat Sulsel. (*)

News Feed