Sudah merupakan tabiat manusia untuk hidup serba ada dan berkecukupan. Namun, ada saja orang yang sering tidak sabaran untuk mendapatkan rezeki besar dengan menghalalkan segala cara, bahkan rela menyingkirkan rasio demi mewujudkan impiannya. Herannya meski OJK sudah berulang kali mengingatkan warga melalui berbagai media agar berhati-hati dan selektif dalam berinvestasi, namun selalu saja ada warga yang menjadi korban penipuan investasi bodong karena tergoda oleh iming-iming.
Tragisnya lagi semua iming-iming keuntungan investasi yang ditawarkan kepada warga, umumnya sangat fantastis dan cenderung tidak rasional secara ekonomis, seakan tidak ada efek jera, warga selalu saja tidak dapat menahan diri. Mulai investasi bodong melalui arisan konvensional hingga digital yang diorganisir oleh koperasi, yayasan atau perorangan maupun bisnis e-commerce seperti Pinjol, Robot Trading, Bitcoin, dan lain-lain.
Sang bandar biasanya berpura-pura memberikan profit di awal sekadar memancing korban untuk yakin agar mau berinvestasi besar-besaran, padahal semua itu hanyalah trik licik bandar yang mengamalkan motto klasik ekonomi “dengan modal yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya”. Ironisnya karena jika peserta mendapatkan keuntungan pancingan, mereka semua bangga dan menyebarkan kebahagiaan itu kepada orang lain secara leluri. Di sinilah bencana investasi bodong itu menimbulkan korban massal, karena adanya saling ajak untuk berburu iming-iming tanpa rasio.
Setelah berbulan-bulan peserta tidak lagi mendapat profit, barulah timbul kesadaran jika mereka menjadi korban pemerasan dan penipuan, parahnya lagi karena para korban harus gigit jari tidak mendapatkan pengembalian investasi karena dalam putusan hakim di pengadilan menyatakan semua aset terdakwa dirampas untuk negara lantaran aset itu dianggap berasal dari judi.
Namun iming-iming yang paling menghebohkan belakangan ini adalah kasus Mbah Slamet Tohari (ST) di Banjarnegara yang berhasil mengibuli para korbannya dengan iming-iming penggandaan uang, padahal itu semua hanyalah kamuflase yang sengaja diciptakan pelaku denga trik menempatkan uang asli hingga jutaan rupiah di suatu tempat, lalu korban diminta mengambil uang itu setelah korban menyerahkan uangnya untuk dibacakan “mantra”. Sebagai bagian dari persyaratan, ST pura-pura melakukan ritual seraya meminta korban untuk meminum air yang sudah dibubuhi racun dengan motif agar korban tidak akan pernah meminta lagi investasinya kepada ST. Ketika menjawab pertanyaan polisi tentang penggandaan uang, ST dengan gamblang mengaku bahwa semua itu adalah bohong, karena kalau ia bisa menggandakan uang, maka ia pasti akan menggandakan uangnya sendiri tanpa perlu minta uang orang lain.
Sebenarnya kasus seperti ini, bukan barang baru, sebelumnya sudah ada Abah Yanto di Gresik, Dimas Kanjeng di Probolinggo, Satrio Bayu di Depok, IS di Magelang, Wowon di Bekasi, SYD di Sleman, dan Yohanes Suryono di Garut. Namun banyak warga tetap saja mempercayai iming-iming yang ditawarkan walau akhirnya korban mengalami roaming. Pepatah Inggris “experience is the best teacher” nyaris tidak berlaku, ibarat anjing menggonggong kafilah berlalu. Warga sulit sekali menghindar jerat tipu muslihat pelaku karena ilmuwan dan organisatoris mumpuni sekelas Marwah Daud, malah membenarkan kesaktian Dimas Kanjeng melalui justifikasi ilmiah dengan menarik teori quantum dan lain-lain. (*)