FAJAR, MAKASSAR – Situasi perbankan Indonesia masih terbilang stabil paska gagal bayar Silicon Valley Bank (SVB), Amerika, terhadap puluhan ribu nasabahnya. Anggota DPR RI, HM Amir Uskara menyampaikan pandangan tersebut.
Hal ini ditunjukkan oleh beberapa indikator. Dari data terakhir OJK, level kecukupan modal perbankan atau CAR berada di 25,6% lebih dari batas minimum 8%. Sementara NPL turun dari 3% pada 2021 ke 2,44%. Politikus PPP dapil Sulsel I ini menyebut hal itu terjadi karena bank mampu menjaga pengendalian kredit bermasalah dan sebagian telah selesai melakukan restrukturisasi pinjaman.
“Indikator lain adalah peningkatan DPK atau simpanan perbankan dari 5.710 triliun rupiah di 2019 (pra-pandemi) menjadi 7.724 triliun hingga akhir 2022,” bebernya. Deposan juga masih memiliki persepsi positif terhadap stabilitas perbankan domestik. Jadi yang perlu dipersiapkan menurutnya adalah menjaga indikator-indikator sektor keuangan yang positif hingga akhir 2024.
Belajar dari Pemilu 2014 dan 2019, tidak terjadi gangguan pada stabilitas perbankan karena fundamental ekonomi yang relatif baik dibandingkan negara-negara berkembang lainnya. Indonesia pun terbilang hanya memiliki porsi ekspor sebesar 24,7% sehingga dampak stabilitas ekonomi di mata mitra dagang tidak terlalu berdampak besar ke ekonomi dalam negeri.
“Ini berbeda misalnya dengan Malaysia yang porsi ekspor terhadap PDB mencapai 68,8 persen dan Singapura sebesar 185 persen sehingga kedua negara tetangga tersebut lebih sensitif terhadap efek risiko perbankan di AS dan Eropa,” bebernya. Sebelumnya diberitakan salah satu bank terbesar di Amerika yang mendanai start up, SVB runtuh dalam waktu sekejap, hanya 48 jam.
Pemerintah federal AS turun tangan dengan menjamin simpanan pelanggan, tetapi kejatuhan SVB terus bergema di seluruh pasar keuangan global. Pemerintah juga menutup Signature Bank, bank daerah yang tertatih-tatih di ambang kehancuran dan menjamin simpanannya. (nas)