Tamu agung itu akhirnya datang lagi menyambangi kita. “Marhaban ya Ramadan.” Doa kita diijabah, “Ya Allah, pertemukanlah kami dengan bulan Ramadan.” Seperti seorang pengelana, dia datang membawa paket dan oleh-oleh. Namun, untuk memperoleh paket dan oleh-olehnya itu harus kita ikuti syaratnya. Tidak terlalu sulit syaratnya, cuma niat mau puasa karena Allah dan mampu menahan lapar, dahaga dan perbuatan yang bisa merusak puasa. Ada yang memenuhi syarat dengan mampu menahan lapar dan dahaga, namun panca inderanya belum bisa dia tahan, misalnya mulut masih mengumbar kata-kata kotor, berbohong dan mungkin gibah. Perilaku seperti ini hanya sah puasanya dari segi syariat, namun nihil pahala puasa yang dia peroleh. Paket itu utuh kita terima jika puasa kita juga total. Ramadan juga datang dengan membawa pesan dan edukasi yang sarat makna dari langit. Dia membawa nilai pendidikan spiritual sehingga kita diharapkan memiliki sikap ketakwaan, istiqamah, integritas, dan sikap jujur akan hal yang berhubungan dengan fropan (dunia) ataupun ukhrawi (akhirat). Pesan membuminya, Ramadan menanamkan sikap egalitarianism sehingga tercipta rasa solidaritas sosial sesama.
Ajaran laku puasa dimulai dari kemampuan menahan dan mengendalikan diri. Banyak dosa dan perbuatan melanggar hukum terjadi karena kemampuan mengendalikan diri yang tidak bisa ditahan sehingga lepas kontrol. Karakter pengendalian diri sangat dibutuhkan dalam kehidupan sosial dan kehidupan bernegara. Tidak hanya untuk rakyat secara umum tetapi juga untuk pejabat, pendidik, mahasiswa, pegawai, pengusaha, dan sebagainya. Kasus asusila, korupsi, kolusi, nepotisme, dan kejahatan lainnya dimulai dari nafsu perut.
Perut yang fungsinya seperti kantung, setiap hari diisi dengan berbagai makanan dan minuman seperti dua mata pisau tajam. Pada sisi satu, makanan sangat bermanfaat dalam menunjang aktivitas hidup dan menghasilkan energi. Sedangkan pada sisi lainnya menimbulkan mudarat bagi tubuh, terutama ketika penyakit-penyakit degeneratif bisa timbul karena pola dan cara makan kita yang salah. Selain itu, efek mudaratnya tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga memengaruhi psikis dan rohani seseorang. Dalam pandangan Islam, makanan yang tidak halal, thayyib dan berberkah membawa implikasi mudarat dalam kehidupan spiritual. Imbasnya akan memengaruhi perilaku, jiwa dan nafsu seseorang. Walaupun belum ada riset bagaimana hubungan makanan dapat memengaruhi perilaku dan jiwa seseorang, tetapi sering kita menyaksikan bagaimana orang yang mengonsumsi makanan minuman haram dan dari hasil perolehan yang haram serta melampaui batas akan turut membentuk kepribadian dan jiwa yang salah.
Dalam Islam, perilaku dosa bisa dimulai dari ketidakmampuan mengontrol nafsu perut. Jika nafsu perut dibiarkan bebas, dia akan menggoda nafsu di bawah perut itulah nafsu syahwat. Selain itu, nafsu perut juga bisa membisiki nafsu di atas perut itulah nafsu ammarah dengan perangkap-perangkap setan yang mengelilinginya. Kata Buya Hamka, “Ada dua syahwat yang sangat memengaruhi hidup, yaitu “syahwat kelamin dan syahwat perut”. Kalau keduanya ini tiada terkendali, maka kemanusian manusia menjadi runtuh dan turun bertukar menjadi kebinatangan. Tetapi apabila dapat dikendalikan dengan puasa, kemanusiaan tadi akan naik tingkatnya. Allah Swt telah mewajibkan puasa pada kita sebagaimana puasa ini telah diwajibkan kepada orang sebelum kita. Ibadah Puasa ini menjadi lebih Istimewa jika dibandingkan dengan ibadah yang lainnya karena di dalamnya seorang hamba harus menahan diri untuk tidak makan dan minum, mengekang diri dari godaan hawa nafsu.” Wallahu a’lam