English English Indonesian Indonesian
oleh

Rektor Koruptor

Masih segar di ingatan masyarakat Rektor Universitas Lampung (Unila) dipenjara karena menerima suap dari penerimaan Mahasiswa baru sistem mandiri beberapa waktu lalu. Kini, Rektor Udayana, Bali, tertimpa tangga yang sama. 

Kedua rektor ini ditetapkan tersangka karena melakukan tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan jabatan. Keduanya pun resmi menyandang gelar sebagai “Rektor Koruptor”. 

Bahkan, dengan sedikit sarkastik, sebuah platform media sosial menyebutnya dengan “koruptor berjubah rektor”.   

Posisi rektor belakangan memang menjadi sorotan. Sebagai perpanjangan tangan negara di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), rektor – rektor PTN di Indonesia kerap mendapat “isu miring”. Barangkali itulah salah satu konsekuensi logis dari pejabat publik di negeri yang menganut sistem demokrasi, dimana pers bebas untuk memberitakan tindak tanduk pejabat publik. 

Beberapa bulan lalu, beberapa rektor pun ramai disoroti karena merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN. Wacana media pun bergeser dari “Rektor komisaris” kemarin – kemarin ke “Rektor koruptor” hari – hari belakangan. Miris sekali. 

Lantas, apakah yang menjadi penyebab pekerjaan dan posisi mulia sebagai rektor ini menjadi hina durjana? 

Sistem Pemilihan 

Pertama – tama, marilah kita berbaik sangka bahwa tak mungkinlah seorang rektor yang dengan jabatan akademik Lektor kepala (Associate Professor) apalagi Guru Besar (Full / senior Professor) memiliki moral yang “bejat”. Hampir tak mungkin. 

Apalagi berniat sejak mencalonkan diri menjadi rektor untuk melakukan tindak pidana korupsi. Dengan begitu, lantas apa yang menjadi penyebab seorang dengan gelar mendekati “nabi” — professor dekat dengan kata prophet dan prophetic, yang berarti nabi dan kenabian – berbuat hal yang tidak mencerminkan gelar dan kedudukannya? 

Jika orang yang mendekati “nabi” dan bahkan memimpin dunia yang dipenuhi cerdik cendikia sampai hati berbuat demikian, lantas di institusi dan posisi mana lagi kemuliaan diharapkan? 

Jika demikian, terlalu sederhana menghakimi moral seorang rektor yang menjadi koruptor, maka sebaiknya kita melacak bagaimana seseorang dapat menjadi rektor di negeri ini. Barangkali sistem memungkinkannya menjadi begitu.

Disadari atau tidak, seperti bau parfum — untuk tak ingin menurunkan kualitas bahasa dengan bau “kentut” — perilaku transaksional seperti bukan rahasia lagi dalam pemilihan pimpinan Perguruan Tinggi. Sayang saja, sistem seleksi pemimpin di Lembaga akademik, “meniru” gaya partai politik. Senang bikin “Tim sukses”. Jika sukses, boleh jadi transaksi di kemudian hari. Siapa dapat apa. Itu di ranah internal. 

Di luar itu, 35% suara menteri di BLU, dan 35% suara Majelis Wali Amanat di PTNBH seperti “lelaki tampan” atau “perempuan seksi”: menjadi rebutan. Dari situ, kembali layaknya partai politik, lobi – lobi seperti lebih ampuh daripada rekam jejak dan visi misi. Lagi – lagi “rawan” transaksi. 

Apatahlagi, jika memang pemilihan pimpinan Universitas dimasuki “tangan – tangan” partai politik, syukur – syukur tidak sampai ke “cukong” oligarki. Suara menteri boleh jadi “komoditas politik”. Sayang seribu Sayang, sebagai komoditas boleh jadi ada juga yang mau “membeli”. 

Kalaulah itu kejadian, maka disitulah bencana bermula. Ibarat pepatah “Jangan bermain api jika tak ingin terbakar”. 

Buah Sistem PTNBH dan BLU?

Dari kisah para Rektor yang dibui, nampak orang perguruan tinggi makin aneh saja belakangan ini. Mereka seperti suka menggali kuburannya sendiri. Atau, jangan – jangan orang lain menggalikan kuburan mereka tanpa disadari, lalu masuk begitu saja. 

Kita berharap tak membiasakan “marah di akhir cerita”. Apalagi seperti Polisi india di film-film Bollywood jaman dahulu. Datang setelah kejadian berakhir. Tinggal bawa borgol dan menyesali datang terlambat. Menyalahkan cuaca ketika nasi sudah jadi bubur. Semoga tak begitu.

Padatnya kerja – kerja administrasi dosen seperti membuat tumpul daya kritis membaca keadaan. Ini tidak termasuk tentunya dosen yang memang tak peduli dengan keadaan sekitar selain kepentingan dirinya. Padahal, kepedulian minimal kepada keadaan yang ada di lingkup tempat kerjanya, sebenarnya juga menyangkut kepentingannya. 

Sayang sekali, seperti katak dalam panci air yang dipanaskan, nanti setengah matang baru sadar dan hendak melompat. Mau apa lagi. 

Seperti kisah “The parable of the boiled frog”, dosen – dosen seperti katak yang dimasak di dalam panci berisi air. Nanti setelah mau matang dan tidak bisa lagi melompat, baru tersadar. Sudah terlambat. 

Panci yang berisi air dipanaskan itu boleh jadi adalah sistem BLU dan PTNBH. Sistem yang lahir dari UU Sisdiknas tahun 2003 dan UU Perguruan Tinggi tahun 2012 berikut turunan – turunannya. Dosen – dosen itu bukan tak mungkin “direbus” di situ. Mungkin saja para calon Rektor yang di kemudian hari menjadi koruptor juga “direbus” di situ. Baru sadar kala kepalang basah. Sudah terlanjur. 

Cermin retak untuk berbenah

Kasus Rektor Unila dan Rektor Udayana semoga saja jadi pelajaran. Semoga tak bertambah lagi yang masuk ke lubang sama. Sayang sekali jika kembali terjadi. 

Bukan apa – apa, menjadi profesor itu tak mudah. Dia juga pekerjaan mulia. Sayang saja jika harus berakhir di penjara. Universitas seperti kehilangan maruah. Tak punya lagi harga diri. 

Semoga peristiwa ini menjadi bahan refleksi mendalam, bahwa ada cermin retak di depan mata. Tak perlu jua “buruk rupa cermin dibelah”. Mari benahi sistem.

Jangan tempuh jalan itu”. (*)

OLEH: Nasrullah, Dosen Ilmu Budaya, Mahasiswa Program Doktoral University of Malaya 

News Feed