Wali Kota Makassar kembali membangun opini sesaat dengan memperkenalkan “Kota Resiliensi, Smart City, dan Sombere.” Hal tersebut dipropagandakan lagi oleh Danny Pomanto dalam rapat Khusus (Rakorsus) tahun 2023 di Hotel Four Points, Selasa (14/03/2023). Di bagian lain dan sebenarnya lebih terkenal, Wali Kota juga memperkenalkan bencana alam, banjir rob, angin puting beliung, dan kekeringan.
Jika teks pernyataan disimak kembali dari perspektif meta-komunikasi (baca-dibalik teks), sama dengan periode pertamanya, Danny Pomanto menjadikan Makassar sebagai kota dunia yang sombere dan smart city (lihat Media Online tertanggal 27 Feb 2022). Adanya program bentuk daur ulang yang disampaikan melakukan replikasi kebohongan dalam wacana kampanye.
Deception yang dilakukan hanya sebuah permainan kata dan sementara kenyataan di lapangan itu sendiri tidak mencerminkan realitas sesungguhnya. Hal itu dikatakan ahli atau pakar komunikasi interpersonal, David B. Buller dan Judee K. Burgoon (1996) dalam Deception Theory bahwa perilaku antar aktor komunikasi menggunakan bahasa maju-mundur. Kebohongan yang melibatkan manipulasi informasi, perilaku, dan citra dilakukan dengan sengaja dan membuat orang lain mempercayai kesimpulan atau keyakinan palsu.
Grand Theory yang diperkenalkan Buller dan Burgoon ini sangat tepat dalam menelaah wacana kebohongan, apalagi aktor tersebut untuk melindungi diri setelah hancur reputasi sebagai pemimpin. Contoh nyata teks yang selalu berulang-ulang digunakan mulai dari: (1) Ingin membangun kota tanggap bencana, tapi aktor komunikasi lupa bahwa beliau dalam masa kepemimpinannya, Kota Makassar dilanda genangan dan banjir setiap tahun. (2) Membangun Kota Makassar sombere dan smart city, akan tetapi yang ada hanyalah maraknya balapan liar, kesemrawutan, tawuran antar kelompok, kota sampah, sehingga penghargaan Adipura hanya menjadi khayalan masyarakat Makassar. (3) Wisata lorong yang terpampang hanya sebuah ilusi pengecetan, dan (4) Makassar era Virtual Metaverse, namun sayangnya realitas tidak seindah kampanye dimana sistem pelayanan ke bawah masih menggunakan pola lama.
Kalau bisa, Pak Wali sekali-kali langsung turun ke bawah melihat kenyataan dan keadaan dimana setiap program, Wali Kota cenderung mengambinghitamkan ketidakberhasilan Kota Makassar yang diakibatkan kesalahan Kepala Dinas atau OPD bahkan alam dan sapi yang ada di TPA menjadi faktor utama gagalnya Makassar mendapatkan penghargaan Adipura.
Kembali kepada kajian Meta-Komunikasi jangan sampai aktor pemimpin kita membodohi rakyat Makassar karena ketidakmampuan memimpin kota ini. Jangan menggunakan jargon ambisius untuk menutupi kekurangan leadership. Berhentilah melakukan desepsi dengan jargon pembiusan demi menyelamatkan diri dari hukuman opini publik. (*)