Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf, Dosen FEB Unhas/ Ketua KPPU RI Periode 2015-2018
Rezim kuota impor dan izin ekspor pangan sering kali “memakan korban”. Terutama terkait dugaan keterlibatan pejabat negara dalam memengaruhi penentuan pemegang kuota impor dan pemberian izin ekspor pangan.
Kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) terakhir melibatkan pejabat kementerian perdagangan berkaitan izin ekspor minyak sawit. Fenomena ini hanyalah gejala dari masalah yang sebenarnya bersumber dari rezim kebijakan pengendalian impor dan ekspor komoditas pangan di Indonesia dengan sistem kuota.
Dimana pemerintah mengendalikan impor dan ekspor pangan dengan cara membagi kuota (jatah) impor kepada importir sesuai kebutuhan di dalam negeri dan izin ekspor kepada eksportir.Sejak awal, rezim kuota impor dan izin ekspor berpotensi melahirkan masalah hokum.
Baik dari aspek pidana, maupun hukum antimonopoli. Secara pidana, rezim kuota dapat memfasilitasi persekongkolan antara pemberi kuota dengan calon penerima kuota. Sementara dari sisi hukum antimonopoli, rezim kuota berpotensi memfasilitasi terjadinya praktek kartel, yaitu persekongkolan antarpelaku usaha pemegang kuota dalam menetapkan harga dan mengatur pasokan ke pasar dalam negeri.
Korupsi-Kartel
Praktek KKNdalam rezim kuota impor sangat mudah terjadi karena hampir semua komoditas pangan memiliki disparitas harga yang tinggi antara harga dalam negeri dengan internasional. Hal ini memberi insentif bagi calon penerima kuota untuk menyuap dalam jumlah yang sangat besar.
Disparitas harga komoditas pangan di pasar domestik dan internasional makin lebar karena terdapat tren perkembangan harga yang berbeda antara pasar domestik dengan pasar internasional. Harga komoditas pangan strategis di pasar domestik cenderung mengalami kenaikan dari waktu ke waktu dan sebaliknya harga komoditas pangan di pasar internasional cenderung menurun.
Tingginya disparitas harga pangan domestik dan internasional juga disebabkan oleh inefisiensi dalam menghasilkan komoditas pangan domestik. Biaya pokok menghasilkan satu kilogram komoditas pangan (misalnya beras) di dalam negeri jauh lebih tinggi dibanding Vietnam dan Thailand. Akibatnya harga pangan domestik jauh lebih tinggi dibanding harga internasional.
Disparitas harga domestik dan internasional yang tinggi ditambahindikasi lemahnya transparansi dan akuntabilitas penentuan pemegang kuota impor memberi peluang terjadinya praktik KKN. Modus KKN dalam penentuan kuota impor pangan sangat primitif sehingga mudah ditelusuri karena hanya memanfaatkan perhitungan besarnya selisih harga domestik dan internasional.
Kecenderungan penetapan pemegang kuota impor yang tidak transparan membuat kuota impor terkonsentrasi hanya pada beberapa group perusahaan. Hal ini kemudian berdampak pada struktur pasar komoditas pangan yang oligopoli, yaitu terpusat pada beberapa pemain besar saja.
Rezim kuota impor menyebabkan kelangkaan dan persistensi kenaikan harga komoditas pangan di dalam negeri. Hal ini disebabkan oleh rendahnya akurasi data produksi (pasokan) dan konsumsi. Tingkat akurasi data yang buruk menyebabkan overestimate (kelebihan hitung) dalam menentukan produksi dalam negeri. Overestimate menghitung produksi pangan menyebabkan lemahnya akurasi data pasokan pangan nasional.
Implikasinya, terjadi underestimate (kekurangan hitung) dalam menetapkan kuota impor. Pengalaman menunjukkan bahwa realisasi impor pangan selalu lebih rendah dari besarnya kuota yang diberikan berimplikasi pada kelangkaan dan tingginya harga pangan di dalam negeri.
Jalan Keluar
Apa jalan keluar terbaik yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia? Mengatasi persoalan seperti di atas dalam jangka pendek tidaklah mudah. Pemerintah memerlukan solusi komprehensif untuk memberantas dua penyakit kronis sekaligus, yaitu KKN dalam penetapan pemegang kuota impor dan praktek kartel pangan yang bersumber dari pemberian kuota yang tidak transparan.
Langkah yang dapat dilakukan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang adalah:(1) Membenahi permasalahan di hulu, yaitu meningkatkan efisiensi dan produktifitas sektor pertanian, khususnya komoditas pangan strategis. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi disparitas biaya produksi dan harga pangan di pasar domestik dengan pasar internasional.
(2) Melakukan kaji ulang kebijakan pengendalian impor komoditas pangan secara selektif dari sistem kuota yang rawan KKN dan kartel menjadi pengendalian melalui mekanisme tarif. Sistem tarif memberi peluang kepada semua pelaku usaha untuk mengimpor dengan membayar tarif bea masuk yang ditetapkan pemerintah. Pola ini diharapkan mengikis potensi KKN karena mengurangi interaksi antara importir dengan pemerintah dan mengurangi konsentrasi pada importir tertentu.
(3) Mengubah manajemen tataniaga komoditas pangan yang memberlakukan kontrol ketat di hulu (melalui sistem kuota yang rawan KKN) tetapi sangat liberal, bahkan tanpa pengawasan di hilir. Pola manajemen seperti ini sangat rawan KKN dan praktik kartel yang merugikan konsumen.
Idealnya, dalam sistem kuota impor dimana hanya segelintir pelaku usaha yang menguasai pasokan, dilakukan pengawasan secara ketat disertai penegakan hukum yang kuat. Namun,hal ini sulit dilakukan karena sejak awal pemberian kuota terindikasi KKN.
(4) Dalam jangka sangat pendek perlu didorong transparansi dalam penetapan pemegang kuota impor. Pemerintah dapat melakukan tender terbuka disertai persyaratan harga jual di pasar lokal. Tentu saja, perlu melibatkan Badan Usaha Milik Negara {BUMN} dalam setiap komoditas pangan strategis sehingga pengendalian pasokan dan harga bisa dilakukan melalui intervensi pasar.
Akhirnya, langkah paling dasar yang harus segera dilakukan adalah meningkatkan efisiensi tata kelola sektor pertanian dalam negeri. Biaya produksi komoditas pangan di dalam negeri harus bisa bersaing dengan biaya produksi di beberapa negara eksportir pangan utama. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi insentif melakukan impor komoditas pangan strategis. (*)