English English Indonesian Indonesian
oleh

Sistem Proporsional Terbuka atau Sistem Proporsional Tertutup

OLEH: Dian Fitri Sabrina, Dosen Hukum Tata Negara

Keberadaan sistem pemilu semakin komplek dan berkembang di Indonesia. Sistem proporsional terbuka merupakan sistem yang telah diterapkan di Indonesia sejak tahun 2004 dan dikuatkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 3 Desember 2008 yang pada prinsipnya menyatakan bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. Namun akhir-akhir ini muncul isu tentang sistem proporsional tertutup dengan pendapat yang disampaikan oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (Hasyim Asy’ari selaku Ketua KPU RI Periode 2022-2027).

Tanggal 17 Januari 2023 beberapa anggota dari Fraksi partai politik mengajukan permohonan uji materil ke Mahkamah Konstusi terkait sistem proporsional terbuka Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu. Beberapa partai politik menolak keberadaan sistem proporsional tertutup dalam sistem pemilu namun, ada juga partai politik yang mengiginkan adanya perubahan sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup karena partai politik menganggap bahwa keberadaan sistem proporsional terbuka banyak merugikan kaderisasi yang tidak terpilih dalam pemilihan legislatif baik pusat maupun di daerah. Keberadaan sistem proporsional terbuka dianggap jauh dari harapan partai politik karena calon terpilih bukan berasal dari proses kaderisasi dan tidak paham dengan visi misi partai politik sehingga calon perwakilan partai politik yang terpilih sebagai anggota legislatif jarang penyampaikan aspirasi partai politik dan memperkenalkan visi misi partai politik kepada rakyat.

Sistem Proporsional terbuka dan tertutup adalah sama-sama sebuah sistem yang berkembang dan digunakan di beberapa negara-negara maju, misalnya Jerman menerapkan sistem proporsional tertutup dan Belanda menggunakan sistem proporsional terbuka, meskipun diyakini memiliki sistem proporsional yang berbeda dalam penerapan sistem pemilu namun mereka merupakan negara yang sangat demokratis. Negara tersebut tidak dengan mudah mengubah sebuah sistem dengan tujuan kepentingan partai politik namun sistem yang mereka gunakan dibangun dan digunakan dengan baik berdasarkan konstitusi, sistem keterwakilan, sistem pemilu, sistem kepartaian dan tidak mudah melakukan perubahan terhadap sistem yang telah ada.

Berbeda halnya yang terjadi di Indonesia, misalnya penerapan sistem proporsional terbuka bahwa tidak jarang ditemukan praktik money politik (politik uang) yang dilakukan oleh oknum calon anggota legislatif untuk mendapatkan suara, hanya saja jika menggunakan sistem proporsional terbuka sasaran politik uang dilakukan untuk rakyat sebagai pemilih, berbeda dengan sistem proporsional tertutup yang dimungkinkan akan lebih transaksional dan lebih mahal karena calon yang ingin dinyatakan lolos oleh partai politik pastinya akan membayar cukup mahal dan merupakan orang terdekat ketua partai politik mengingat keputusan partai politik bersifar sentralistik.

Sistem proporsional terbuka yang telah dilaksanakan saat ini telah sejalan dengan paham kedaulatan rakyat sebagaimana yang dituangkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945. Makna kedaulatan rakyat memberikan hak sepenuhnya rakyat untuk menentukan pilihan dalam pemilu. Aspirasi rakyat dalam menentukan perwakilannya merupakan bentuk demokrasi negara Indonesia. Hal ini tercermin dari sistem kepartaian, sistem keterwakilan, sistem pemilu yang telah dilaksanakan saat ini. Sistem proporsional terbuka tidak mengurangi hak partai politik dalam menentukan seleksi calon legislatif dan membuat daftar nomor urut calon legislatif. Berbeda dengan keberadaan sistem proporsional tertutup yang akan memberikan hak sepenuhnya ketua partai politik untuk menentukan siapa yang akan duduk sebagai perwakilannya di DPR/DPRD dan hal ini jelas menghilangkan hak pemilih untuk menentukan pilihan secara bebas dan mandiri dalam pemilihan anggota legislatif.

Berdasarkan hal di atas dapat disimpulkan sistem proporsional tertutup dapat diartikan bahwa keberadaan anggota DPR atau DPRD bukan lagi disebut representasi rakyat atau pewakilan rakyat karena keputusan dalam menentukan perwakilan di DPR atau DPRD berada di tangan partai politik bukan lagi melalui rakyat sedangkan keputusan DPR dalam membuat produk hukum dalam bentuk undang-undang harus melibatkan publik sehingga hal tersebut tidak sejalan dengan makna Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 yang memiliki hubungan kuat antara relasi rakyat terhadap negara melalui perwakilannya.

Berbicara tentang sistem proporsional tertutup maupun sistem proporsional terbuka tidak cukup hanya dimaknai dari sisi kelebihan dan kekurangan kedua sistem tersebut namun harus dimaknai bahwa dalam pemilihan perwakilan rakyat harus berdasarkan konstitusi, sistem kepartaian dan sistem perwakilan berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan dan check and balance. Jika dalih perbandingan beberapa negara yang menganut 2 sistem tersebut menjadi sebuah dasar dilakukannya sebuah perubahan sistem, maka itu akan merusak sistem kepemiluan kita, mengingat sistem proporsional yang diterapkan di Indonesia mudah mengalami perubahan sistem.

Hal ini dilihat dari segi budaya, kebiasaan, sistem pemilu, sistem kepartaian, dan sistem keterwakilan kita berbeda dari negara lain yang tidak mudah mengalami perubahan pada sebuah sistem yang sudah ada. Sistem proporsional harus kembali kepada budaya partai politik, baik terbuka atau tertutup pada prinsipnya sistem perwakilan harus berimbang antara perolehan suara nasional dengan kursi di DPR dan harus dikembalikan kepada hak pemilih dan dipilih dalam sebuah sistem pemilu. Pertanyaan yang muncul adalah jika sistem proporsional tertutup digunakan dalam sistem pemilu di Indonesia maka akan terjadi patronase (munculnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme) dan bukan jaminan partai politik mengutamakan prinsip keterwakilan misalnya mengesampingkan kesetaraan hak bagi kelompok minoritas, dan kesetaraan gender. (*)

News Feed