Ada ‘gempa politik’ baru yang dihadirkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) — Pekan lalu. PN Jakpus memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda Pemilu 2024 atau tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024. Putusan PN Jakpus ini terkait gugatan perdata Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) yang dinyatakan KPU tidak memenuhi syarat untuk mengikuti Pemilu 2024. Dalam putusannya, PN Jakpus mengabulkan gugatan Prima. PN Jakpus menyatakan Prima adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi KPU. Selain itu, PN Jakpus menyatakan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum. “Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari,” bunyi putusan PN Jakpus. Lebih hebatnya lagi PN Jakpus menyatakan putusan tersebut dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta atau uitvoerbaar bij voorraad. Putusan atas gugatan itu diambil dalam musyawarah majelis hakim yang terdiri dari T Oyong sebagai Ketua Majelis Hakim, serta H Bakri dan Dominggus Silaban.
**
Putusan PN Jakpus telah membuat geger jagat politik Indonesia. Apalagi kata-kata ‘tunda pemilu’ sudah kita dengarkan pada banyak kesempatan dan disampaikan oleh banyak petinggi negeri ini dan juga politisi utama. Koor untuk menunda pemilu, selalu mendapat tentangan dan kecaman dari berbagai kalangan. Wacana menunda pemilu, selalu mendapat serangan hebat dari para aktivis demokrasi, para politisi sendiri, dan tentu saja begitu banyak akademisi.
Wacana ‘3 periode’ maupun ‘menunda pemilu’ adalah sesuatu yang tidak pada tempatnya. Reformasi memberi putusan penting di antaranya, jabatan Presiden dan Wakil Presiden dibatasi untuk 2 masa jabatan. Maka amatlah ironis, jika ada pihak yang ingin mengubah semangat reformasi itu untuk menikmati kekuasaan dengan lebih lama.
Wacana menunda pemilu — sepertinya jalan alternatif untuk melanggengkan kekuasaan. Menunda pemilu sebagaimana disampaikan PN Jakpus — sebelumnya oleh banyak politisi dan petinggi negeri — adalah setara dengan memperpanjang kekuasaan dengan mudah tetapi licik.
**
Seharusnya jangan pernah ada wacana penundaan pemilu. Apalagi jika sampai dilakukan dengan ‘menggunakan’ kewibawaan sebuah vonis pengadilan. MenkoPolkam Mahfud MD menyatakan ia menduga ada ‘permainan’. “Ini kan masalah hukum administrasi, jadi bagaimana dimasukkan ke dalam hukum perdata, saya kira ada permainannya mungkin di balik itu, ya pasti ada permainannya,” ujar Menko di Youtube Kemenko Polhukam hari Minggu kemarin. Kita sepakat menghargai kebebasan hakim dalam mengambil keputusan. Namun kita juga tidak bisa memahami jika sebuah gugatan perdata harus memutuskan hal yang di luar kamarnya.
Dua mantan Presiden Indonesia juga menyatakan keprihatinannya atas putusan PN Jakpus yang memerintahkan penundaan pemilu. Presiden SBY sampai menyatakan keputusan itu sangat aneh dan meminta agar kita semua mengawal proses demokrasi dari ‘gangguan’ apapun. Mantan Presiden Megawati Soekarno Putri ikut memberikan tanggapan lewat Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto — Ibu Megawati mengingatkan bahwa berpolitik itu harus menjunjung tinggi tata krama bernegara dan tata pemerintahan yang baik berdasarkan konstitusi dan peraturan perundangan-undangan.
Maka jika benar dugaan Prof Mahfud MD — bahwa pasti ada permainan, maka saatnya kita mencari siapa yang bermain di balik keputusan itu. Agar upaya-upaya menggerogoti demokrasi kita bisa dihentikan. Apapun kita tak boleh berada disituasi yang gelap. Obscuris vera involvens.**