LAPORAN: Prof M Qasim Mathar
Seoul, Korsel
SELAMA di Korea Selatan, kami selalu melakukan salat jamak dan qasar. Beberapa hari di Korea, kecuali di hotel, wudu kami selalu tidak dengan air, tetapi bertayamum.
Karena suhu yang amat dingin, di hotel pun saya berwudu dengan air hangat. Di lokasi Pesantren Matahari yang saya asuh di Dusun Mangempang, Moncongloe, Maros, bila musim hujan, air juga terasa amat dingin.
Akan tetapi, saya masih berani mandi dan menyiram sekujur tubuh dengan air dingin dusun itu. Di Korea yang bersuhu antara -2°C dan 4°C, fikih Islam selalu menuntun agar agama, khususnya ibadahnya, bisa ditunaikan dengan mudah.
Merasakan nikmat 1001 versi fikih, adalah fikih lunak menjadi pilihan yang lebih tepat jika turisme mau dinikmati. Fikih keras, dalam pandangan saya, akan membuat jalan-jalan bertamasya menjadi kurang dinikmati.
Saya menghormati fikih yang membatasi kebolehan berhari-hari menjamak-qasar salat. Saya menghormati fikih yang tidak membenarkan bertayamum ketika ada air tersedia.
Saya menghormati fikih yang waspada kepada piring-sendok dan gelas-cangkir di restoran tempat makan di negeri yang tidak mengenal istilah halal-haram dalam Islam. Sekali lagi semua fikih demikian, yang saya sebut sebagai fikih keras, saya pasti hormati.
Akan tetapi, dengan fikih keras, turisme berkurang nikmatnya. Bagaimana Anda mau singgah untuk menunaikan salat, sementara jangankan masjid, musala pun sulit ditemukan. Apakah Anda, karena itu, meminta ke masjid yang lokasinya jauh?
Sementara rombongan turisme terjadwal ke satu tempat yang tidak ke arah lokasi masjid berada.
Bagaimana Anda mau ditunggu berwudu dengan (mencari) air, sementara anggota rombongan lainnya bertayamum dan (mau) salat di dalam bus saja …? Bukankah itu mengganggu kenikmatan turisme.
Bagaimana Anda tidak ikut makan bersama anggota rombongan lainnya, karena Anda mewaspadai hidangan dan piring-gelasnya tidak cocok bagi orang Muslim, sekali pun pemandu sejak awal sudah meyakinkan bahwa semua makanan dan minuman selama turisme sudah diatur dan dijamin kehalalannya.
Fikih lahir karena ada masalah. Fikih, karena itu, mengeluarkan umat dari masalah. Ketika masalah-masalah baru muncul, fikih-fikih yang baru juga lahir. Fikih bukan kubangan, lubang yang berlumpur.
Fikih akan menjadi kubangan kalau ia dibiarkan baku, anti perubahan. Kehidupan yang dinamis dan terus bergerak memerlukan fikih yang juga dinamis dan terus bergerak.
Korea saat ini, suhunya yang masih bersalju (Februari), tradisi dan budayanya, hanya cocok dengan fikih lunak bagi turisme Muslim yang berkunjung ke Negeri Ginseng itu. Mungkin juga sebaliknya. Muslim Korea jika melakukan turisme ke Indonesia, fikih lunak tentu akan membuat turisme mereka lebih nikmat dan menyenangkan.
Saya yakin, fikih lunak akan menjadikan ibadah agama akan lebih leluasa dilakukan di semua negeri di dunia, dan pasti menyenangkan. Dunia dan perubahan-perubahannya yang dinamis akan berangsur-angsur meninggalkan fikih keras! (Bagian 2-Selesai)