English English Indonesian Indonesian
oleh

SDM dan Jebakan Pendapatan Menengah

Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf, Dosen FEB Unhas/ Komisaris Utama PTPN IX

Middle Income Trap (jebakan negara berpendapatan menengah) masih menjadi isu utama pembangunan nasional. Hal ini sejalan dengan publikasi World Bank tahun 2014 yang bertajuk “Development Policy Review 2014, Indonesia: Avoiding The Trap”.

Perekonomian Indonesia bisa terhindar dari jebakan negara berpendapatan menengah, segera naik kelas menjadi negara maju dengan syarat, pemerintah mampu menggeser model pertumbuhan ekonominya ke productivity-driven economy, yaitu model pertumbuhan berbasis produktivitas tinggi.

Perekonomian Indonesia sulit naik kelas menjadi negara maju karena kendala struktural. Pendapatan per kapita Indonesia sekitar USD 4.331 pada 2021, yaitu mendekati batas bawah negara berpendapatan menengah. Perekonomian Indonesia termasuk kelompok lower middle ioncome group (kelompok negara berpendapatan menengah bawah).

Sejalan dengan World Bank, batas bawah negara berpendapatan menengah setara dengan pendapatan per kapita lebih besar USD 3.000 dan lebih kecil dari USD 7.250 per kapita per tahun. Bahkan perekonomian Indonesia rentan down grade menjadi negara miskin ketika terjadi gejolak eksternal, seperti pengalaman krisis ekonomi 1997/1998.

Masalahnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya rata-rata 5 persen dalam 10 tahun terakhir. Padahal untuk mencapai status upper middle income group, perekonomian Indonesia harus tumbuh 14 persen per tahun selama satu dekade. Gap antara realisasi dengan target pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah disebabkan oleh masalah struktural.

Produktivitas Rendah

Permasalahan struktural perekonomian Indonesia ditandai oleh terhambatnya mobilisasi tenaga kerja dari sektor dengan produktivitas rendah ke sektor dengan produktivitas tinggi. Inovasi juga tidak berjalan karena kurangnya insentif bagi swasta untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian dan pengembangan.

Akibatnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir lebih didorong oleh akumulasi modal dan pertumbuhan lapangan kerja baru. Sementara productivity growth yang dinyatakan dengan total factor productivity (TFP) berkontribusi kecil. TFP adalah intengible factor yang dikaitkan dengan kualitas SDM dan inovasi teknologi.

Fakta menunjukkan bahwa selama ini, kontribusi TFP dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sekitar 33 persen dalam satu dekade terakhir. Hal ini kontras dengan Tiongkok dan Korea yang lebih dari 50 persen pertumbuhan ekonominya didorong oleh kemajuan teknologi dan ketersediaan angkatan kerja berkualitas.

Pengalaman reformasi ekonomi Tiongkok satu dekade lalu yang fokus pada pengembangan SDM telah mengakselerasi pertumbuhan produktivitas pekerjanya dari rata-rata 7,4 persen pada 1995-2000, menjadi 8,6 persen pada 2000–2005, 10,7 persen (2005 – 2010), dan 9 persen (2021). Hal ini berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Tiongkok menjadi rata-rata 8,3 persen (1995–2000),  9,3 persen (2000–2005), sekitar 10,6 persen (2005 – 2010), dan 8,11 persen (2021).   

Kondisi ini sangat kontras dengan Indonesia yang tumbuh rata-rata 7,6 persen (1990-1995), menurun menjadi 0,8 persen pada periode krisis (1995–2000), 4,6 persen (2000–2005), 5,5 persen (2005–2010), dan sekitar  5,1 persen (2023).

Hal ini sejalan dengan pertumbuhan produktivitas pekerja dari 7,5 persen (1990 –1995), menjadi 1,4 persen periode krisis (1995–2000), 3,6 persen (2000–2005), dan 2,2 persen (2005–2010), dan meningkat selama periode 2010-2020.  

Inovasi Teknologi

Persoalan lain yang juga sangat serius adalah lambannya inovasi teknologi. Hal ini tercermin pada jumlah pendaftaran hak paten yang sangat kecil. Akibatnya, kegiatan industri manufaktur di dalam negeri sangat tergantung pada impor barang modal yang dalam beberapa tahun terakhir menurunkan surplus neraca transaksi berjalan.

Kemampuan inovasi nasional yang rendah tercermin pada persentase anggaran penelitian dan pengembangan terhadap GDP yang hanya sekitar 0,05 persen. Bandingkan dengan Tiongkok yang sudah mencapai 1,5 persen dari GDP-nya, India 0,8 persen, Malaysia 0,64 persen, dan Thailand 0,25 persen (ADB, 2013).

Jumlah penduduk Indonesia yang bekerja dalam bidang penelitian dan pengembangan juga sangat kecil, yaitu lebih kecil dari Tiongkok yang mencapai 1.070 orang per satu juta penduduk, India 137 orang, Malaysia 372 orang, dan Thailand 311 orang. Akibatnya pertumbuhan pendaftaran hak paten di Tiongkok tumbuh rata-rata 35 persen dari 15.600 menjadi 122.000 selama  periode 1999–2006 (WIPO Statistics Database, 2011).

Sehingga untuk mengatasi permasalahan di atas, diperlukan perubahan mendasar yang bersifat struktural yang cepat dan fundamental. Terminologi cepat tidak selalu dikaitkan dengan perubahan yang singkat, seperti yang terjadi dalam revolusi industri di Inggris yang memakan waktu puluhan tahun.

Ada baiknya berkaca pada restorasi Meiji 1866–1869 yang mengantarkan Jepang menjadi negara maju. Retorasi Meiji yang fokus pada character building menjadikan Jepang sebagai satu dari puluhan negara yang berstatus lower middle income trap tahun 1950-an naik kelas menjadi negara maju pada 1970–1980.  

Akhirnya, arah pengembangan SDM nasional adalah mewujudkan manusia Indonesia yang tidak hanya menguasai teknologi, terampil dan berwawasan luas, tetapi juga memiliki etos kerja tinggi. Pengembangan SDM dimulai dari pendidikan anak usia dini.  (*)

News Feed