Ada ‘berita’ lagi pekan lalu di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketua KPK Firli Bahuri telah membuat surat ke Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menarik dua pejabat KPK kembali ke Korps Bhayangkara. Firli ingin Polri melakukan pembinaan karier dan promosi terhadap dua anggota polisi yang sudah lama mengabdi di KPK itu. Keduanya: Deputi Penindakan KPK Karyoto dan Direktur Penyidikan Endar Prihantoro. Sebelumnya dengan alasan ingin melanjutkan karier di instansi asalnya — Direktur Penuntutan KPK Fitroh Rohcahyanto mundur dari jabatan yang belum lima tahun diembannya.
Berita pengunduran diri dan ‘pengembalian’ oleh pihak KPK dinyatakan semuanya dalam kaitan pengembangan karier bagi ketiga pejabat itu di instansinya masih-masing. Pimpinan dan juru-bicara KPK menegaskan ‘proses’ yang terjadi bagi ketiganya tidak terkait dengan penanganan perkara apapun di KPK. Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri menepis pengembalian Deputi Penindakan dan Eksekusi Irjen Pol Karyoto dan Direktur Penyelidikan Brigjen Pol Endar Priantoro ke institusi Polri karena berkaitan dengan pengusutan kasus ‘Formula E’ — sebagaimana yang disebutkan banyak pihak. Menurut Fikri — apapun diperlukan pengembangan karier bagi setiap Pegawai Negeri (termasuk unsur Polri) yang dipekerjakan di KPK pada instansi asalnya. Sehingga hal tersebut merupakan mekanisme yang wajar dan tidak terkait dengan persoalan selainnya. Fikri menerangkan, surat usulan KPK sudah diajukan kepada Polri sejak November 2022. Usulan tersebut merupakan bentuk promosi pengembangan karier Pegawai Negeri yang Dipekerjakan (PNYD).
**
Berita ‘pengembalian’ dua petinggi KPK kepada instansi asalnya dan sebelumnya pengunduran diri Jaksa Fitroh dari KPK menjadi sorotan berbagai pihak. Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto (BW) menilai pengembalian Direktur Penyelidikan KPK Endar Priantoro dan Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto ke institusi Polri merupakan obstruction of justice atau perintangan penyidikan terkait perkara dugaan korupsi penyelenggaraan Formula E di DKI Jakarta. Menurutnya, tindakan penarikan dua petinggi itu merupakan teror terhadap KPK dan kriminalisasi perkara dugaan korupsi penyelenggaraan Formula E.
Di beberapa media dikabarkan adanya ‘keinginan’ sebagian pimpinan KPK untuk memaksakan agar kasus Formula E dinaikkan ke tingkat penyidikan meski belum ada tersangka. Diberitakan juga bahwa gelar perkara sudah sempat dilakukan hingga 8 kali dan tidak cukup alasan hukum untuk menetapkan tersangka dalam ‘kasus Formula E’. Tim Deputi Penindakan, Direktur Penuntutan dan Direktur Penyidikan bersikukuh bahwa disebutkan berada pada sikap ‘kasus Formula E’ belum memiliki kecukupan alat bukti untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan. Namun semua isu miring terkait proses gelar perkara Formula E dibantah pihak KPK. KPK juga menyayangkan proses penanganan perkara Formula E diseret-seret ke dalam kepentingan politik. Padahal, menurut dia, penanganan perkara tersebut telah menaati asas dan prosedur hukum yang berlaku.
**
‘Perkara Formula E’ menjadi menarik karena menyeret nama Anies Baswedan — yang telah dideklarasikan oleh Partai Nasdem sebagai calon Presiden RI pada Pilpres 2024. Belakangan Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga menyatakan mendukung Anies sebagai calon Presiden (meskipun belum melakukan deklarasi dan deklarasi bersama Nasdem). Maka isu dan pertanyaan pun menjadi lari kemana-mana — setelah adanya berita gelar perkara Formula E di KPK hingga ‘pengembalian’ dua pejabat KPK ke instansi Polri.
Benarkah asumsi-asumsi dan diskusi bebas di warung kopi bahwa Anies Baswedan pada akhirnya akan menjadi tersangka? Benarkah dia bersalah? Bukankah hukum tidak memberikan ketidakadilan kepada siapa pun dan tidak melakukan kesalahan kepada siapapun — Lex nemini operatur iniquum, neminini facit injuriam. Kesimpulan lain: Benarkah Anies hanya akan menjadi tersangka hingga proses pencalonan Capres di Pilpres 2024 selesai? Benarkah ada ‘kesepakatan’ meski Anies dinyatakan tersangka (belum tentu bersalah – dengan asas presumption of innocence) tidak akan pernah ditahan dan pada akhirnya setelah proses pencalonan di partai politik atau setidaknya masa pemdaftaran di Komisi Pemilihan Umum selesai — akan mendapatkan status SP3. Menjadi manusia bebas tetapi sudah tidak bisa mengikuti konstetasi Pilpres 2024?
Kita berharap dan meyakini KPK akan melaksanakan proses penegakan hukum tanpa intervensi kepentingan politik apapun. Kita semua meyakini bahwa hukum kadang tidur tetapi tidak pernah mati. Dormiunt aliquando leges, nunquam moriuntur. Semoga semuanya berjalan baik-baik saja. Kita meyakini KPK selalu berada di jalur penegakan hukum yang seharusnya. (*)