English English Indonesian Indonesian
oleh

Abaikan Putusan Pengadilan,Kades-Camat Terancam Pidana

FAJAR, MAROS— Kasus konflik agraria di Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros kian amburadul. Kepala Desa Marupa, Bakri dan Camat Marusu, Suwardi enggan menandatangani penerbitan sertifikat hak milik tanah atas nama Marrang.

Padahal alas haknya sudah sangat jelas, yakni putusan PN Maros. Di mana dalam gugatan No 49/Pdt.G/PN Mrs hakim memutuskan gugatan yang diajukan Abdullah C, Indotang, dan Rampe terhadap Ma’rang, Amiruddin, Nurdin, dan Dahri Dg Sikki tidak diterima.

Putusan tersebut ditandatangani Khairul sebagai hakim ketua dan Fita Juwiati dan Wiryawab Hadikusuma per tanggal , 29 Maret 2022. Dalam amar putusan, juga dikatakan menghukum penggungat konvensi/para tergugat rekonvensi untuk membayar biaya yang timbul sehubungan adanya perkara hingga kini ditaksir Rp2,17 juta.

Putusan tersebut juga diperkuat dengan putusan Pengadilan Tinggi (PT) Makassar dengan nomor putusan banding 176/PDT/2022/PT MKS. Dalam amar putusan yang ditandatangani hakim ketua Jhon Halasan Butarbutar mengatakan menerima permohonan banding dari pembanding, semula para tergugat tersebut.

Selain itu putusan PT Makassar tersebut juga menguatkan putusan PN Maros No 49/Pdt.G/PN Mrs yang dimintakan banding tersebut. Menghukum para pembanding semuala para tergugat untuk membayar ongkos peerkara di tingkat banding sebesar Rp150 ribu.

Pakar Hukum Pidana UMI, Prof Hambali Thalib mengatakan putusan pengadilan itu merupakan produk hukum yang setara dengan undang-undang. Jika ada pihak yang tidak menjalankannya bisa dilaporkan sebagai perbuatan melanggar hukum.

Ada dua jenis laporan yanhg bisa dilakukan. Pertama yakni melaporkan Kepala Desa dan Camatnya ke pimpinan daerah sebagai bentuk pelanggaran kode etik. Sedangkan laporan kedua dilaporkan ke kepolisian dengan laporan perbuatan tidak mengenakan, karena tidak menjalankan tugasnya sebagai pelayan masyarakat.

“Jika melihat berkas putusannya artinya sudah inkrah alis berkekuantan hukum tetap. Sehingga tidak ada lagi upaya hukum yang bisa dilakukan. Bisa dikatakan PN Maros dan PT Makassar sebagai perintah undang-undang,” kata Prof Hambali, Jumat, 10 Februari.

Lebih lanjut guru besar Fakultas Hukum UMI ini menuturkan jika kepala desa dan camat memang berbut tindakan perbuatan tidak mengenakkan bisa saja kena sanksi. Bukan hanya sanksi etik juga bisa dipidana.

“Pejabat pemerintah itu adalah pelayan masyarakat. Dia tidak bisa memihak pada satu sisi. Harus ada berada pada tempat yang netral,” akunya.

Pakar Hukum Administrasi Negara UNM, Herman menjelaskan secara hukum, menjadi kewajiban bagi aparat negara (ambtenaar) melaksanakan putusan pengadilan. Apalagi yang sudah inkracht van gewijsde (telah mempunyai kekuatan hukum tetap). Disinilah arti kepastian hukum (rechtszekerheid) bagi warga negara mendapat perlindungan hukum (rechtsbescherming) sebagai hak konstitusional, bahwa semua orang bersamaan kedudukannya dalam pemerintahan.

Kewajiban (plichten) hukum bagi pejabat administrasi negara untuk melaksanakan putusan pengadilan sebagai bagian dari tanggungjawab hukum pejabat. Prinsip putusan adalah erga omnes (mengikat semua orang) termasuk pejabat administrasi untuk melaksanakan secara patuh putusan a quo putusan dalam perkara tersebut.

“Akibat hukum bagi pejabat administrasi negara yang tidak melaksnaakan putusan a quo adalah tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dari pejabat (onrechtmatige overheidsdaad). Dimana dalam hukum administrasi negara dapat memiliki akibat hukum pejabat berupa sanksi administrasi dari atasan, selain dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum pemerintah melalui pejabat,” ungkapnya.

Herman menbahkan tidak menjalankan putusan pengadilan juga juga dapat dikategorikan tindakan sewenang-wenang (willekeur). Artinya tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, apalagi dalam konsep pemerintahan, tindakan a quo adalah kesewenang-wenangan, dan tindakan penyalahgunaan kekuasaan (de tournement de pouvoir).

Pada intinya, hasil putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, wajib secara hukum dilaksnaakan oleh pejabat administrasi negara, termasuk kepala desa, dan camat dalam sengketa a quo.

Kalau terdapat tindakan pejabat administrasi negara yang tidak melaksanakan putusan tersebut, maka dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan, dan kesewenang-wenangan, bahkan lebih jauh lagi sebgai tindakan melawan hukum dari pemerintah, dan tentu saja memiliki akibat hukum bagi pejabat bersangkutan yang menolak melaksanakan putusan pengadilan, negara indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat).

“Semua pelaksanaan pemerintah wajib dilakukan secara hukum atau berdasarkan hukum sebagai secara konstitusional diatur dalam pasal 1 Ayat (3) UUD NRI ’45. Arti tindakan pejabata administrasi dalam sengketa tersebut juga merupakan pelanggaran konstitusional, yang dilain pihak merupakan hak konstitusional setiap warga negara,” bebernya.

Diberitakan sebelumnya Pengadilan Negeri Maros, sudah menegaskan dokumen yang dikuasai owner Gudang 88 Pattene, Ronald Ghozali dan Abdullah C cs cacat formil.

Pasca persidangan Agustus lalu, Badan Pertanahan (BPN) Maros menindaklanjuti dengan menurunkan tim meninjau lokasi untuk melanjutkan proses penerbitan sertifikat milik, Marrang, di Desa Marumpa, Dusun Cinaranae, Kecamatan Marusu.

Akan tetapi, putusan pengadilan tersebut terkesan dipandang sebelah mata di jajaran pemerintah kecamatan dan desa. Di mana, Kepala Desa Marumpa, Bakri, menolak menandatangani dokumen pengadaan tanah.

Hal sama dilakukan Camat Marusu, menolak menandatangani BPHTB milik, Marrang, yang kepemilikannya dianggap sah di Pengadilan Negeri Maros. “Padahal BPN sudah tidak ada masalah. Agak aneh juga,” kata kerabat Marrang.

Menurutnya, PN Maros sudah memutuskan dokumen Abdullah C yang menjadi dasar manajemen Gudang 88 ingin menguasai lahan tersebut cacat formil. Bukti yang diajukan pun tidak komplet.

“Salinan putusan sudah diberikan sejak beberapa waktu lalu. Kok, mereka terkesan mengabaikan putusan yang sudah inkrah itu,” katanya dengan nada heran.

Salah seorang sumber di BPN Maros, juga menyebut jika pihaknya sudah mendatangi kantor Desa Marumpa. “Pak Desa tidak mau tanda tangani lembar panitianya. Salinan putusan juga sudah kami perlihatkan,” sebut sumber tersebut.

Kepala Desa Marumpa, Bakri, belum bisa dikonfirmasi. Nomor telepon selulernya dalam keadaan tidak aktif. Demikian pula Camat Marusu, Suwardi Sawedi, tidak dapat dikonfirmasi. Meski telepon selulernya dalam keadaan aktif, tetapi upaya konfirmasi tidak dijawab. (edo)

News Feed