Oleh: Firmansyah Demma, Mahasiswa Unhas asal Takalar, Aktivis Budaya
Kabupaten Takalar yang terbentang dengan sembilan kecamatan, resmi berdiri sebagai sebuah kabupaten setelah dikeluarkannya Undang-undang RI Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi Selatan.
Setahun setelah dikeluarkannya undang-undang tersebut, hari jadi Kabupaten Takalar disepakati atau jatuh pada tanggal 10 Februari 1960.
Setiap tahunnya di tanggal 10 Februari, pemerintah dan kalangan masyarakat memperingati hari jadi Takalar. Peringatan hari jadi Takalar menjadi momentum berharga untuk mengenang perjuangan para pejuang Takalar terdahulu sekaligus untuk merefleksi Takalar dari masa ke masa sebagai salah satu dasar dalam menciptakan perubahan positif yang signifikan.
Namun, dari beberapa peringatan hari jadi Takalar yang dijumpai oleh penulis, semuanya hanya bersifat seremonial semata dan bahkan mungkin hanya untuk kepentingan eksistensi saja.Maksudnya ialah, bahwa Pemerintah Daerah melakukan serangkaian acara peringatan hari jadi tapi tidak membuahkan hasil atau berdampak positif terhadap kondisi sosial masyarakat.
Di tahun 2023 ini, Takalar memasuki usianya yang ke-63 Tahun. Usia yang cukup lama, yang tentunya sudah banyak menyimpan potret masyarakat dari berbagai lini kehidupan.
Di usia yang ke-63 Tahun ini, Pemerintah Daerah tidak boleh lagi hanya sebatas memperingati dan merayakan hari jadi Takalar dengan kegiatan seremonial saja, tetapi harus menjadikan hari jadi Takalar sebagai momentum yang menghasilkan solusi atas permasalahan sosial masyarakat.
Pada hari jadi Takalar kali ini, Pemerintah Daerah sudah harus peka secara total terhadap masalah-masalah yang sering dialami oleh masyarakat dan sampai saat ini belum menuai titik terang.
Salah satu polemik atau keresahan masyarakat yang masih menyertai tumbuh-kembangnya Takalar adalah abrasi yang terjadi di wilayah pesisir pantai Takalar.
Abrasi menjadi salah satu masalah yang amat serius setiap tahunnya, bahkan telah terjadi selama kurang lebih 7 tahun lamanya terhitung sejak adanya aktivitas Tambang Pasir di Tahun 2017 silam.
Masyarakat pesisir yang kerap menjadi korban abrasi terletak di beberapa titik, seperti di Kecamatan Galesong, Kecamatan Galesong Selatan, Kecamatan Galesong Utara dan kecamatan lainnya yang masuk dalam wilayah pesisir Takalar.
Tak main-main, abrasi yang menimpa masyarakat pesisir Takalar membuat rumah beberapa warga hampir rubuh dan hanyut ke laut. Hal itu dikarenakan semakin naiknya air dan semakin mengikisnya pasir, apalagi saat musim hujan tiba.
Selama kurang lebih 7 Tahun, masyarakat pesisir menjerit dan menangis darah dalam duka abrasi, tapi hingga detik ini di usia 63 Tahun Takalar Pemerintah Daerah masih saja acuh dan belum memberikan solusi kongkret sebagai sebuah langkah mitigasi.
Yang dilakukan oleh pemerintah selama ini, hanyalah sebatas kunjungan semata tanpa ada realisasi, kunjungan itu pun dilakukan hanya pada saat tertentu saja dan terkesan pencitraan.
Dalam hal penanganan abrasi, Pemerintah Daerah selalu beralasan tidak adanya anggaran untuk melakukan mitigasi atas abrasi pantai yang terjadi di sepanjang wilayah pesisir Takalar.
Padahal, pada peringatan hari jadi Kabupaten Takalar yang ke-62 di Tahun 2022 lalu, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan melalui Pelaksana Tugas (PLT) Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaiman, menyerahkan bantuan dana sebesar 15 Milyar untuk mengatasi masalah abrasi tersebut.
Andi Sudirman Sulaiman yang saat itu masih berstatus sebagai PLT, menyerahkan bantuan keuangan secara langsung untuk pembangunan tanggul di pesisir pantai Takalar yang terkena abrasi dengan harapan agar tidak ada lagi masyarakat pesisir yang terdampak. Namun sayang, anggaran 15 Milyar itu justru tidak membuahkan hasil dan entah dikemanakan oleh Pemerintah Daerah.
Hal tersebut dapat kita verifikasi kebenarannya dengan melihat masih banyaknya wilayah pesisir yang bibir pantainya dihajar habis-habisan oleh abrasi karena tidak adanya tanggul. Padahal, apabila anggaran 15 Milyar itu dikelola dengan baik dan tepat, maka pasti akan memberikan hasil yang cukup baik pula. Paling tidak, mampu membuat masyarakat sedikit bernafas lega.
Pemerintah Daerah selama ini tidak betul-betul serius memprioritaskan masalah sosial yang berdampak besar terhadap masyarakat. Pertanda, bahwa pemerintah Takalar selama ini mempraktikan apa yang kemudian penulis sebut dengan istilah “Apatisme Birokrasi Pemerintahan”.
Yakni, sebuah sikap yang tidak menggunakan elementer birokrasi pemerintahan sebagai episentrum perubahan lingkungan sosial masyarakat dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang baik menjadi semakin lebih baik.
Berkaca dari kondisi tersebut, ke depan, untuk memastikan bahwa masyarakat pesisir tidak akan menjerit-jerit karena abrasi, sebagai refleksi 63 Tahun usia Takalar Pemerintah Daerah mulai saat ini harus intens memberikan perhatian khusus terhadap masyarakat pesisir Takalar.
Hal itu penting untuk dilakukan, mengingat pemerintah memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakatnya. Dan juga dalam hal birokrasi, pemerintah memiliki wewenang secara administratif untuk mencanangkan hal-hal yang sifatnya membutuhkan penganggaran dalam mengatasi masalah tertentu.
Maka dari itu, pada momentum peringatan hari jadi Takalar yang ke-63 Tahun ini, penulis menekankan kepada Pemerintah Daerah agar menjadikan hari jadi Takalar sebagai momentum rembuk kerakyatan yang secara serius melakukan refleksi dan membicarakan solusi atas masalah-masalah sosial masyarakat Takalar. Salah satunya adalah masalah abrasi.
Apabila peringatan hari jadi Takalar yang ke-63 ini menjadi resolusi yang menghasilkan sebuah gagasan besar untuk kemaslahatan orang banyak, misalnya untuk mengentaskan masalah abrasi, maka secara tegas Pemerintah Daerah telah memperlihatkan keberpihakannya terhadap masyarakatnya. Dan secara esensial, Pemerintah Daerah bisa mencetak peluang untuk meminimalisir abrasi di tahun mendatang.
Tetapi, apabila peringatan hari jadi sama seperti sebelum-sebelumnya yang jauh dari keresahan masyarakat, bukan sebagai ajang refleksi dalam birokrasi pemerintahan, maka secara terang benderang pemerintah hanya menjadikan momen hari jadi Takalar sebagai ritus yang tak bernilai setiap tahunnya. (*)