English English Indonesian Indonesian
oleh

Fokus pada Revolusi Sisi Produksi

Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf, Dosen FEB Unhas/ Komisaris Utama PTPN IX

Premature deindustrialization masih menjadi isu utama perekonomian nasional dalam satu dekade terakhir. Deindustrialisasi prematur bermakna bahwa masyarakat Indonesia belum sempat menjadi “kaya” lalu berpindah ke sektor perdagangan dan jasa. Akibatnya, tren laju ketimpangan antar pendapatan per kapita dan antar daerah meningkat. Padahal tren ini baru akan berhenti ketika memasuki fase industri.

Hal ini sejalan dengan pandangan ekonom seperti Kuznets (1955) dan Williamson (1965) bahwa negara pada tahap pra industri akan mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi diikuti oleh ketimpangan antar pendapatan per kapita dan antar daerah.

Revolusi Produksi

Revolusi sisi produksi menjadi tema utama laporan Bank Dunia untuk Indonesia dalam satu dekade yang lalu. Laporannya berjudul “Indonesia: Avoiding The Trap” mengulas pentingnya mengatasi permasalahan struktural, seperti ketimpangan antar pendapatan per kapita dan antar wilayah.

Selama ini perekonomian nasional mengalami jumping transformation, yaitu melompat dari perekonomian berbasis sektor primer ke tersier. Sementara kegiatan industri (sekunder) tidak berkembang optimal dan bahkan kontribusi industri dalam output nasional mengalami penurunan.

Kecenderungan ini ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi tinggi dalam 10 tahun terakhir diikuti oleh gini ratio dan indeks Williamson yang tinggi. Gini ratio menunjukkan ketimpangan antar pendapatan per kapita dan indeks Williamson menunjukkan ketimpangan antar daerah. Jika nilainya mendekati satu maka diartikan sangat timpang.

Akar permasalahan ketimpangan terletak pada strategi kebijakan makro yang mengutamakan sisi permintaan dibanding sisi pasokan. Selama ini, kecenderungan inflasi tinggi, Consumer Price Index (CPI) Inflation, selalu dikaitkan dengan kegagalan BI sebagai otoritas moneter. Padahal inflasi di Indonesia bukan semata disebabkan oleh tekanan sisi permintaan tetapi lebih disebabkan gangguan produksi dan distribusi.

Insentif untuk menggerakkan perekonomian nasional lebih terfokus pada instrumen suku bunga, kemudahan akses pembiayaan (financial inclusion), dan kenaikan rasio antara kredit dengan simpanan (loan to deposit ratio). Akibatnya, kredit perbankan lebih banyak mengucur untuk membiayai konsumsi dan perdagangan dibanding investasi.

Jalan Keluar

Solusi dari permasalahan ketimpangan adalah fokus pada revolusi produksi untuk mempercepat transformasi struktural perekonomian nasional, yaitu bergeser dari pertumbuhan yang digerakkan oleh eksploitasi SDA ke produktifitas penggunaan tenaga kerja dan modal.

Beberapa faktor yang harus dibenahi, yaitu: Pertama, mengubah arah managemen makroekonomi nasional dari demand side view ke bauran kebijakan demand side view dengan supply side view. Kedua, mengatasi kekurangan ketersediaan infrastruktur, khususnya di KTI dengan cara meningkatkan belanja infrastruktur sehingga setara dengan Tiongkok yang lebih dari 10% GDP-nya.

Ketiga, membenahi kualitas angkatan kerja nasional yang masih didominasi oleh tenaga kerja lulusan Sekolah Dasar (SD). Pengalaman Tiongkok menunjukkan bahwa pertumbuhan industrinya diikuti oleh peningkatan permintaan tenaga kerja lulusan pendidikan teknik dan kimia. Hal ini harus diikuti peningkatan daya tampung serta kualitas pendidikan teknik dan kimia di pendidikan tinggi.

Keempat, melakukan kaji ulang terhadap semua kebijakan yang menyebabkan inefesiensi industri serta tidak memberikan insentif bagi berkembangnya industri nasional. Salah satunya, kebijakan batas bawah dan atas harga atau tarif di sejumlah komoditi atau sektor ekonomi utama.

Kebijakan ini menghambat peningkatan efisiensi dan pertumbuhan produktifitas industri nasional. Padahal pengalaman negara maju menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi jangka panjang didorong oleh pertumbuhan produktifitas (Total Factor Productivity – TFP Growth).

News Feed