Toxic relationship adalah hubungan beracun, hubungan yang berunsur negatif dan dapat merusak kenyamanan salah satu atau kedua belah pihak yang terlibat dalam suatu hubungan. Biasanya orang yang beracun memiliki pengalaman buruk di masa lampau (seperti bullying) yang membuatnya terguncang secara emosional, sehingga seseorang mempertahankan diri dengan cara mengontrol orang secara berlebihan untuk menunjukkan “kekuatan” dirinya.
Meski hubungan beracun dapat terjadi pada beragam hubungan, seperti antara anggota keluarga, teman, rekan kerja, atau hubungan apapun, namun hubungan beracun ini seringkali diidentikkan dengan hubungan antara suami dan istri atau hubungan antara dua orang yang berpacaran. Dalam hubungan beracun ada yang menyadari bahwa ada “racun” dalam hubungan mereka, namun tidak mampu keluar dari atau terperangkap dalam hubungan tersebut. Tapi banyak yang tidak menyadari bahwa mereka berada dalam hubungan beracun.
Hubungan beracun tidak saja dapat membahayakan kondisi kesehatan mental karena adanya dominasi, pengekangan, pengontrolan, kecemburuan yang berlebihan, dll. Namun hubungan beracun juga dapat mengancam kesehatan fisik karena terjadinya tindak kekerasan dan bahkan pembunuhan. Ini mengganggu kualitas hidup orang-orang yang terlibat dalam hubungan beracun.
Hubungan beracun terkadang nampak sebagai hubungan yang “sempurna” karena mereka menampilkan sisi lain dari hubungan tersebut untuk mengelabui publik, sehingga mereka nampak sebagai pasangan yang normal bahkan dapat membuat iri orang-orang yang melihatnya. Padahal di balik itu ada kekesalan, ketidakbahagiaan, penderitaan, rasa frustrasi, kemarahan yang berefek negatif pada diri yang bersangkutan. Dalam konteks ini, menampilkan “kesempurnaan” hubungan adalah Tindakan manipulatif untuk mengelabui publik. Tapi hubungan beracun juga terkadang nampak secara nyata, sehingga orang luar bisa melihatnya.
Orang yang berada dalam hubungan beracun memang cenderung manipulatif, memaksakan kehendak, mengintimidasi, possesif, dan playing victim. Salah satu cara seseorang berusaha masuk dalam kehidupan target adalah melalui love bombing. Biasanya orang seperti ini menghujani “mangsanya” dengan cinta, perhatian, hadiah secara berlebihan, dan ini menimbulkan rasa berhutang dan bergantung bagi penerimanya. Ketika itu terjadi, pelaku love bombing menjalankan aksinya, mendapatkan apa yang diinginkannya. Love bombing memang menimbulkan kontradiksi yang membingungkan orang yang menerimanya karena cinta, perhatian, dan hadiah membuatnya merasa diistimewakan. Namun, ketika pelaku sudah menunjukkan sikap mengontrol dengan, misalnya, menelfon dan mengirim pesan tiada henti, menuntut perhatian penuh, menentukan siapa yang dapat berhubungan dengan pasangannya, ingin mengetahui setiap aktivitas pasangannya, tidak menghargai pendapat pasangannya, maka ini pertanda bahwa ekspresi “kesayangan” yang ditunjukkan di awal telah berubah menjadi “racun”, dan hubungan beracun telah menjeratnya.
Hubungan beracun bisa dialami oleh siapa saja jika seseorang “memberikan ruang” untuk itu. Oleh karenanya, ketika “tanda” sudah ditunjukkan, maka jangan mengabaikan insting hanya karena terpesona dengan hal-hal manipulatif yang ditunjukkannya yang membuat seseorang “tertahan” untuk bertindak. Hubungan beracun bisa terjadi pada diri kita, pada diri anak-anak kita. Oleh karenanya, deteksi dini diperlukan sebelum hubungan itu berlanjut semakin intim dan semakin membahayakan kesehatan mental maupun fisik seseorang. Jika tidak dapat mengatasi diri sendiri, maka bantuan orang lain diperlukan. Bagi orang tua yang memiliki anak remaja, jangan sampai menjadi orang terakhir yang mengetahui bahwa anak mereka sedang berada dalam hubungan beracun. Semakin dini hubungan tersebut, semakin mudah untuk dihentikan; semakin jauh hubungan tersebut, semakin sulit untuk diatasi karena antara cinta dan racun kadangkala sulit dibedakan jika seseorang telah menjadi budak cinta (bucin). It’s toxic!