English English Indonesian Indonesian
oleh

Project Budaya Bone II, Menempatkan Kembali Bissu sebagai Subjek, Bukan Lagi Objek

FAJAR, BONE-Project Budaya Bone lahir dari inisiatif Kelompok Peneliti Muda Bissu dan Kerukunan Waria-Bissu Bone. Pada helatan kedua, Tim Project Budaya Bone telah bergerak sejak Oktober 2022 hingga Januari 2023.

Dengan mengumpulkan beberapa anak-anak muda di Sulawesi Selatan, panitia pelaksana Project Budaya Bone sudah berusaha sebaik mungkin untuk mendatangkan Bissu di 4 (empat) Kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan, Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Soppeng, Wajo, Bone.

Delapan peneliti lokal mulai melakukan riset untuk melahirkan karya visual serta melakukan pendampingan bagi para Bissu. Tim peneliti berasal dari beragam latar belakang, baik dari akademisi, praktisi hingga para pekerja seni.

Dalam prosesnya, para peneliti lokal dibekali dengan pendekatan metodologi dekolonisasi untuk dapat melihat dan menangkap terjemahan dari apa yang dilakukan para Bissu dalam kesehariannya.

Hal ini untuk menempatkan kembali Bissu sebagai subjek, bukan lagi objek dalam penelitian. Segala penelitian layaknya dialog, terjadi dua arah, pada setiap peneliti dan Bissu.

Dari hasil pendampingan itu, para peneliti menyuguhkan karyanya pada pameran di gelaran Tudang Sipulung. Ragam karya visual peneliti lokal hadir menjadi berbagai luaran seperti, zine, infografis, hingga film dokumentasi pendek.

Hasil karya peneliti muda ini, cukup mendapat banyak perhatian dari para pengunjung Project Budaya Bone. Hal ini tentu menjadi angin segar, karya menjadi hidup dan menghadirkan perjumpaan antara berbagai pihak dari akademisi, pelaku seni, perwakilan adat, pemerintah, kelompok agama, dan masyarakat.

Bukan hanya mampu menarik perhatian kaum muda untuk dapat menyaksikan pemutaran film dokumentasi pendek dan beberapa karya peneliti tentang Bissu, namun mereka juga bertahan hingga dua hari untuk mendengarkan empat sesi yang dibawakan oleh pemateri-pemateri cakap dalam bidangnya.

Hari Pertama: Dialog Bissu dan Peneliti
Pada sesi pertama, gelar wicara diisi oleh Puang Matoa Ancu (Bone), Angkuru Hj. Jannah (Wajo) dan Pung Ecce (Soppeng) yang dampingi langsung oleh akademisi muda, Dr. Asrul Nur Iman, M.Si dengan latar belakang penelitiannya mengenai pola komunikasi Bissu yang ada di empat kabupaten Sulawesi Selatan.

Sesi pertama diawali dengan menanyakan perjalanan penyucian diri para calabai untuk bisa mencapai titik di mana dirinya terpanggil menjadi Bissu.

Puang Matoa Ancu menuturkan kisah ketika ia merasa bertemu dengan Dewata SeuwaE, terpanggil, bertaubat atas kesalahan yang pernah dilakukan, dan meninggalkan semua dosa.

Hal yang serupa dituturkan oleh Angkuru Hj. Jannah dan Pung Ecce, tentang bagaimana perjalanan menjadi Bissu dapat kembali membuka lembar baru yang dekat dengan Tuhan, serta jauh dari perilaku dosa duniawi.

Tujuan acara ini terpenuhi dengan melihat bagaimana dialog yang muncul lewat respon peserta yang hadir. Salah seorang calabai mengaku bahwa Bissu berbeda dengan calabai.

“Bissu adalah jalan penyucian seorang calabai, bagaimana kembali menemukan Tuhan dalam kehidupannya,” demikian dikutip.

Pertemuan setiap calabai dengan Bissu menghadirkan refleksi bagi dirinya. Kesadaran bahwa segala sesuatunya terjadi lewat proses; dan hal tersebut tidaklah mudah bagi seorang calabai dapat menjadi Bissu. Setiap calabai butuh niat, laku, dan hati teguh untuk memelajari segala keterampilan yang sejalan dengan akar kebudayaan Bugis.

Tidak selang beberapa lama setelah istirahat, panitia melanjutkan ke sesi kedua. Sesi ini mempertemukan peneliti lokal yang tergolong muda, dengan segala perspektif barunya memandang, memahami, dan menerjemahkan kembali ruang-ruang dialog antara diri mereka dengan Bissu.

Acara ini dibawakan oleh Wilda Yanti Salam, pekerja seni muda yang karyanya tentang budaya kontemporer sering muncul di media massa.

Diskusi sesi kedua ini hadir seperti dua sisi keping mata uang, saling melengkapi. Peserta yang hadir diminta untuk dapat dinikmati pameran dengan judul “Siduppa Mata, Siduppa Rapang” dan berdialog langsung dengan Bissu dan penelitinya di hari yang sama. Pameran yang dikuratori oleh Jessy Ismoyo dan Feby Triadi ini memang ditenggarai mencuri perhatian para peserta yang datang.

Kurator menyadari jika ruang ini adalah ruang aman, ruang nyaman untuk mereka berdialog dengan asas falsafah Bugis tentang assimellereng.

Feby Triadi, MA menyatakan, seperti kutipan dalam catatan kuratorialnya, “Perubahan diterjemahkan sebagai pola, perilaku, sampai dengan tataran nilai yang menjadi dasar terciptanya pameran ini.

Perayaan atas perubahan itu, kemudian bersaksi bagi keberagaman kehidupan manusia untuk menyemai titik keberterimaan. Sehingga, narasi lama tentang toleransi tidak akan lapuk dimangsa zaman, konsep tentang toleransi dan keberterimaan akan hinggap dalam setiap individu yang telah siap dengan kesaksian, bahwa untuk mencapai tunggal, harus menerjemahkan yang jamak melalui sikap.”

Catatan itu muncul dari kekhawatiran kedua peneliti ini bahwa setiap polemik penelitian terkait dengan Bissu, cenderung menempatkan relasi kuasa yang nyata bagi Bissu. Dua kurator ini menyadari jika sampai saat ini Bissu cenderung didekati mulai dari narasi ilmiah sampai pementasan dari panggung ke panggung, tanpa memberi ruang dialog antara Bissu dan penelitinya.

Setiap sesi dan pameran pada hari pertama bertujuan kembali untuk menghidupkan kembali diskursus Bissu, yang saat ini dianggap sebagai pa’bissu karena kehilangan kesakralannya dan selalu dibanding-bandingkan dengan Bissu masa lampau; melepaskan konteks bahwa identitas, kebudayaan, dan masyarakat terus berubah; termasuk Bissu. Tidak ada karya dan diskusi yang sempurna, tapi setidaknya pada sesi kedua ini, dialog menjadi hidup. Setiap peserta membahas mengenai Bissu lebih dari satu perspektif saja.

“Kita perlu keluar dari logika positivistik yang melahirkan pemikiran biner tentang Bissu pada yang sakral dan profan. Bissu, sebagai fenomena sosial, perlu ditangkap dan diterjemahkan terus-menerus, tidak hanya dari satu paradigma,” ujar Jessy Ismoyo.

“Tidak terjebak dalam standardisasi pemikiran, reduksi konversi makna tunggal yang justru mengarah pada hegemoni kultural tentang definisi kebenaran. Seolah-olah bahasa yang boleh digunakan untuk menerjemahkan Bissu hanya milik satu kelompok saja,” tambahnya.

Hari Kedua: Advokasi dan Penguatan Kelompok Bissu. Pada hari selanjutnya, 29 Januari 2023. Pelaksanaan sesi ketiga berlangsung dengan serius dan khidmat. Mencetuskan tema “Memahami Keberagaman sebagai Bagian dari Kesempurnaan.”

Sesi ini menghadirkan pemateri Aflina Mustafainah (Ketua Yayasan Pemerhati Masalah Perempuan Sulawesi Selatan), Dr. Andi Asia Pananrangi, S.H., M.H. (Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Watampone), Martina Majid (Koalisi Pendamping Kelompok Rentan) serta Eman M. Harundja (Kerukunan Waria Sulawesi Selatan).

Sesi ini dimoderatori oleh Petsy Jessy Ismoyo, Ph.D (Cand.) yang bermula dengan melemparkan bagaimana dialog mampu membentuk wadah, penguatan, advokasi, dasar perdamaian, keadilan dan penguatan institusi yang terlahir dalam kehidupan masyarakat yang multikultur.

Menjadi pilar penting dalam poin ini adalah Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika yang menghargai perbedaan dalam bingkai persatuan Indonesia sebagai negara-bangsa.

Sesi ini mengupas advokasi mengenai kelompok Bissu yang sebenarnya telah banyak dilakukan. Gerak advokasi harus berdasar pada pemahaman bahwa ragam gender justru tidak dapat semata-mata disamakan dengan gerakan LGBT.

Komunitas Bissu memiliki tujuan gerakan sendiri untuk tetap hadir dalam ritual-ritual dan melakukan fungsinya dalam masyarakat. Advokasi yang dilakukan bagi kelompok Bissu pun berusaha untuk menghadirkan kesadaran bahwa seorang Bissu hanya dapat berasal dari calabai dan calalai, bukan perempuan atau laki-laki.

Para pembicara dalam sesi ini menyatakan bahwa pemahaman tentang keberagaman inheren dalam kerja advokasi bagi Bissu. Penghargaan atas keberagaman itu merupakan landasan untuk proses pembangunan masyarakat yang inklusif.

Oleh sebab itu, sesi advokasi terhadap kelompok Bissu ingin mengedepankan kebebasan hak-hak sipil dalam berkumpul dan berpendapat agar negara lewat pemerintah mampu hadir dan memberikan framing yang tepat dan dapat diterima semua kalangan masyarakat; sebab sudah menjadi tugas inti dari pemerintah untuk hadir, memahami sampai menengahi persoalan masyarakat.

Sesi terakhir ditutup dengan roundtable “Meretas Kebekuan Perspektif: Kelompok Agama, Akademisi, Pemerintah Daerah, dan Tokoh Adat” merupakan sesi puncak dari Project Budaya Bone dengan memberikan ruang sebesar-besarnya kepada Dr. Andi Muhammad Akhmar, M.A menjadi fasilitator dalam melihat penguatan dan strategi seperti apa yang mampu dilahirkan untuk menguatkan kelompok Bissu.

Bersama dengan Dr. Syamsurijal Ad’han, M.Si (NU Sulawesi Selatan), Dr. Halilintar Lathief, M.Si (Gerakan Budaya Sipakatau), Ir. Andi Promal Pawi, S.T (Kepala Dinas Pariwisata Kab. Bone) dan Dr. Andi Singkeru Rukka, M.H (Tokoh Budaya Bone), tujuan dari sesi ini ingin membangun jembatan anggapan, stigma yang terbagun dalam masyarakat, karena saat ini ada yang pro, kontra atau bahkan ambivalen dengan kehadiran Bissu.

Sesi ini menjadi cukup menarik lantaran memiliki sisi pro-kontra di dalamnya, seperti pertanyaan tentang posisi Bissu dan asosiasi dengan gerakan LGBT. Roundtable ini menghidupkan dialog dalam ruang aman untuk menyampaikan keberpihakan.

Menyoal hal tersebut, Dr. Syamsurijal Ad’han, M.Si merespon bahwa Bissu harus berasal dari calabai. Hal yang sama dinyatakan oleh Dr. Halilintar Lathief, M.Si, “Hanya calabai tungkena lino atau sala dewi yang dapat menjadi Bissu, bukan paccalabai ataupun calabai kedo-kedonami.”

Selain itu, mengutip Dr. Andi Singkeru Rukka, M.H bahwa Bissu juga merupakan warga negara Indonesia dengan hak sipil yang sama dalam masyarakat, “Menghadapi persoalan Bissu harus mengingat kembali pada falsafah Bugis, Naiyya ade’e attabbuturenna tau mawatang’e, allinrungenna tau madodong’e” yang berarti hukum adalah pembatas bagi orang yang kuat dan penolong/pelindung bagi orang yang lemah.”

Untuk menjembatani hal tersebut, Ir. Andi Promal Pawi, S.T menyambut positif usaha pelibatan Bissu dalam kerja pariwisata yang dilakoninya.

Pada penutupan acara ini, Tudang Sipulung diharapkan dapat menghadirkan naskah akademik. Hal ini akan menjadi rekomendasi yang dapat digunakan untuk strategi penguatan Bissu di Sulawesi Selatan antara lain, (1) Kerja sama pemerintah untuk inisiasi pendekatan top-down lewat aspek sosial-ekonomi yang sejalan dengan sosial-kultural berupa penyediaan ruang aman agar Bissu dapat melakukan fungsi ritualnya, (2) Integrasi Bissu sebagai ikon budaya dan pariwisata yang dapat memajukan budaya Bugis, (3) Inisiatif masyarakat lewat pendekatan bottom-up berupa strategi literasi digital sebagai medium promosi pengetahuan tentang Bissu dan budaya Bugis. (*)

News Feed