OLEH: Khairul Huda, M.A
Interdisipliner Islamic Study-pshcology Islam- UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sejak 2020 lalu, lembaga Internasional Pew Research Center (PRC) merilis sebuah data temuannya tentang negara-negara paling religius di dunia. Survei ini diberi tajuk The Global God Divide yang melibatkan 34 negara dengan 38.426 responden, termasuk responden yang berasal dari Indonesia (Detik/27/07/2020). Dalam penentuan sampel, survei ini menggunakan multistage stratified cluster sample dan proses interview dilakukan secara tatap muka meski sebagian lainnya dilakukan melalui telepon. Tingkat kepercayaan survei ini tidak main-main, berkisar pada angka 95 persen dengan margin error yang berbeda-berbeda pada setiap negara. Survei ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara paling religius di dunia. Negara-negara timur tengah yang kita kenal sebagai rumah Allah (baitullah) selama ini justru berada di bawah Indonesia.
Bagi sebagian kalangan, temuan survei ini mungkin hanyalah angka-angka dan tidak begitu mengagetkan terlebih dalam interaksi dan praktik sosial kita, masyarakat kita memang telah lama dikenal sebagai bangsa yang religius, terlebih bangsa kita berdasar pada Pancasila dengan menempatkan nilai ketuhana Yang Maha Esa pada butir pertama.
Namun, di tengah tingginya angka kemiskinan, berdasarkan data BPS tercatat sebanyak 26,36 juta jiwa, data temuan survei ini perlu kita baca, telaah, renungi, dan refleksikan. Terlebih salah satu temuan yang dirilis dalam survei ini adalah tingkat religiusitas negara berkembang yang disimpulkan lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara yang relatif sudah mapan dan maju. Sehingga patut dipertanyakan sebagai otokritik bagi kita yang telah direkognisi oleh masyarakat global sebagai yang paling religius tersebut ialah mengapa angka kemiskinan masih tinggi di negara kita jika kita memang benar-benar religius? Apakah memang agama mengajarkan kepada kita untuk tidak peduli atas isu-isu pengentasan kemiskinan?
Pandangan Agama Soal Kemiskinan
Saya berkeyakinan, pasti semua agama mengajarkan kepada kita untuk peka terhadap isu-isu kemiskinan dan memperjuangkan kaum yang dikategorikan masyarakat lemah (mustadh’afin). Maka dalam beragama, sangat tidak mengherankan bila kita secara konsisten dikhotbahi agar bersikap peduli, dan mencintai ritual berbagai kepada masyarakat yang berkategori miskin.
Hal ini pertanda bahwa kemiskinan ini adalah isu penting dalam setiap agama. Berbicara soal agama dan kemiskinan, ia menghadirkan cara pandang yang unik dan beragam soal kemiskinan. Jaco Beyers dalam tulisannya misalnya, ia mengutarakan sekurang-kurangnya ada tiga cara pandang agama dalam kaitannya dengan fenomena kemiskinan.
Pertama, agama dapat mengarahkan pikiran manusia ke masalah spiritual yang berfokus pada kemiskinan spiritual belaka dibandingkan dengan material.
Kedua, agama dapat memengaruhi respons terhadap kemiskinan dengan menumbuhkan sikap kerelaan untuk berbagai, atau dermawan. Dan yang ketiga, agama dapat menjadi bagian yang secara aktif mendorong dan berpartisipasi dalam upaya pengentasan kemiskinan.
Jika melihat semangat beragama kita berdasarkan kategori Bayers di atas, penulis mengindikasikan bahwa umumnya masyarakat kita masih didominasi oleh cara pandang yang pertama, yakni menjadikan agama dalam mengatasi kekeringan hati dan spiritual dengan memperkayanya melalui berbagai ritus peribadatan semata ketimbang menyoal berbagai bentuk ketimpangan sosial (kemiskinan).
Cara pandang seperti ini pada akhirnya mereduksi fungsi sosial atas agama itu sendiri, pada gilirannya membawa masyarakat pada sikap kerelaan dan pasrah dalam menerima semua kondisi yang dialaminya seperti kemiskinan karena dianggap hal tersebut adalah semata-mata karena ketentuan Allah, dan satu-satunya jalan untuk menyikapinya adalah memperkaya aspek spiritual dibandingkan dengan hal yang sifatnya duniawi atau materil. Pertanyaanya, benarkah agama sama sekali menutup diri terhadap fenomena demikian?
Agama dan Pengentasan Kemiskinan
Kemiskinan itu adalah kondisi sosial manusia yang umumnya diakibatkan oleh banyak faktor; sosial, ekonomi, psikologis, dan politik. Itu menandakan bahwa kemisikinan bukanlah kehendak setiap orang, namun ada situasi sosial yang membentuk dan mengonstruksinya sehingga ia terjadi.
Kita sebagai manusia beragama dalam situasi masalah sosial yang sedemikan pelik, kompleks dan beragam itu, maka sangat menarik untuk menanyakan dan merefleksikan perihal pandangan keagamaan kita soal kemiskinan. Ataukah memang pandangan agama yang kita Imani dan Yakini sama sekali tidak memiliki semangat dunia sama sekali, yakni dengan memberikan perhatian pada hal-hal yang sifatnya materil seperti yang diutarakan Bayers di atas, yakni pandangan keagamaan kita lebih terfokus pada upaya memperkaya spiritualitas belaka ketimbang materil, sehingga model keberagamaan kita cenderung mengabaikan dan tidak berperan secara aktif mendorong dalam menyikapi fenomena sosial seperti kemiskinan.
Asghar Ali Engineer dalam “Islam dan teologi pembebebasannya” menjelaskan bahwa Islam tidak hanya berbicara masalah teologi, namun juga pada aspek sosial dan ekonomi, namun ada peristiwa dalam periode sejarah yang mengakibatkan Islam kehilangan semangat revolusionernya.
Padahal spiritualitas dan duniawi adalah dua entitas yang sejatinya sejalan, sehingga kita dituntut untuk mencari sesuatu dari keduanya baik investasi akhirat maupun harta untuk kehidupan. Memahami Islam yang hanya terfokus pada aspek teologis semata, hanya akan memperkokoh kemapanan dalam Islam itu sendiri, semangat untuk memperjuangkan segala bentuk ketidakadilan dan ketimpangan seperti kemiskinan tidak ada.
Padahal, semangat itu ada dalam Islam. Misalnya saja, kita diajarkan untuk menolong dan berbagai kepada sesama yang membutuhkan.
Anjuran ini ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah, ayat 254(terj); “Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah kami berikan kepadamu sebelum datang hari ketika tidak ada lagi jual beli, tidak ada lagi persahabatan, dan tidak ada lagi syafaat. Orang-orang kafir itulah orang yang zalim.”
Bahkan dikatakan bahwa pada harta kita, terdapat hak orang lain di dalamnya. Maka sudah sangat jelas bahwa yang menjadi persoalan dengan tingginya angka kemsikinan di tengah label negara religius adalah pada pemahaman kita soal agama itu sendiri, bukan pada agamanya. Karena dalam agama, spirit dan semangat pada isu sosial dan ekonomi sudah tertulis dengan baik pada setiap bait-bait ayat suci. (*)