FAJAR, MAKASSAR- Sebanyak delapan guru besar jadi penguji disertasi berjudul “Esensi Demokrasi Melalui Pengaturan Calon Tunggal Dalam Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia” karya Wara Sarjono (Promovendus), yang juga merupakan staf DPRD Sulsel.
Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Ahli Muda DPRD Sulsel ini berhasil meraih gelar Doktor Bidang Hukum pada Universitas Hasanuddin setelah mempertahankan disertasinya itu. Ia menguraikan persoalan fundamental terkait pengaturan pilkada calon tunggal selama ini, serta menawarkan konsep pengaturan yang lebih demokratis.
“Ini juga sebagai alternatif jalan keluar dari permasalahan yang ada sekarang,” kata Wara. Perjalanan pemilihan kepala daerah di Indonesia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015 membuka jalan beberapa daerah hanya memiliki satu pasang calon. Di antaranya pada Pilkaea 2015 tanpa harus menunda sampai periode berikutnya. Walaupun dalam Naskah Akademik UU 10/2016 memuat Putusan MK No. 100 sebagai salah satu landasan Yuridisnya namun ternyata tidak semua substansi Putusan MK diadopsi masuk dalam UU 10/2016.
Salah satunya Pasal 54C ayat (2) dimana disebutkan bahwa “Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat 2 (dua) kolom yang terdiri atas 1 (satu) kolom yang memuat foto pasangan calon dan 1 (satu) kolom kosong yang tidak bergambar. Ketentuan Pasal 54C ayat (2) bisa dikatakan tidak sejalan dengan putusan MK karena mahkamah menghendaki pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal melalui mekanisme 1 kolom memuat foto pasangan calon dengan memilih “setuju” atau “tidak setuju”.
“Tetapi pembentuk undang-undang memodifikasi pemilihan calon tunggal dengan foto pasangan calon dan 1 (satu) kolom kosong yang tidak bergambar,” urainya. Dia mengambarkan pada Pilkada Kita di Makassar tahun 2018, KPU Kota Makassar menetapkan kolom kosong sebagai pemenang dalam pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Makassar.
Kemenangan kolom kosong di Kota Makassar mengakibatkan terjadinya kekosongan jabatan kurang lebih 20 bulan yaitu sampai penyelenggaraan Pemilihan kembali pada Pemilihan serentak periode berikutnya. “Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-udangan, maka KPU berkoordinasi dengan kementerian yang membidangi urusan dalam negeri untuk penugasan penjabat Wali Kota dan Wakil Wali Kota,” sambung Wara.
Menurutnya, penunjukan pejabat sebagai konsekuensi terjadinya kekosongan jabatan tentu juga merupakan bentuk pengingkaran terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Apabila tidak dilakukan perubahan aturan maka di Tahun 2024, dimana apabila calon tunggal dikalahkan oleh kolom kosong maka sebagai konsekuensinya selama lima tahun (sampai pilkada berikutnya digelar) pada Tahun 2029, jabatan kepala daerah diisi oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri.
Maka selama kurun waktu itu pula, pemerintah dapat mengganti-ganti siapa saja yang diinginkan untuk menduduki jabatan tersebut. Dengan demikian tentunya ini mencederai esensi demokrasi karena pemimpin yang harapkan merupakan pemimpin yang ditunjuk oleh kekuasaan bukan yang dipilih. Konsep yang ditawarkan dalam desertasi pada Jumat 27 Januari itu adalah sebuah alternatif sebagai jalan keluar agar pemilihan kepala daerah tetap berjalan lebih demokratis. Bertindak selaku Ketua sidang Prof. Dr. Hamzah Halim SH, MH, MAP (Dekan FH-UH) bersama sejumlah guru besar lainnya.
Kemudian Penguji Eksternal Prof. Dr. Putu Gede Arya Sumertha Yasa, SH, M.Hum (Dekan FH-Udayana) dan penguji seperti Prof. Dr. Aminuddin Ilmar, SH, MH. (nsrn)