OLEH: Firmansyah Demma, Mahasiswa Sastra Daerah Unhas angkatan 2019
Universitas Hasanuddin (Unhas) adalah salah satu perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia Timur, bahkan masuk dalam jajaran kampus terbaik di Indonesia. Hal itu mungkin menjadi suatu kebanggaan bagi sebagian orang, terutama bagi para birokrasi kampus. Tetapi juga mungkin saja sebagian orang justru menganggap hal itu hanyalah citra eksistensial semata.
Unhas tidak boleh hanya dipandang pada statusnya sebagai salah satu PTN terbaik, karena capaian predikat PTN terbaik itu hanyalah persoalan administratif yang tak semua orang tahu atau mungkin saja karena adanya hubungan diplomatis.
Sebagai kampus negeri yang peminatnya sangat banyak, Unhas juga harus dipandang pada tataran praktisnya. Baik dari segi kebijakan akademiknya maupun kebijakan non-akademik.
Itu penting, agar ada perbandingan yang objektif. Maksudnya ialah, agar kita mampu menilai apakah Unhas terus berbenah karena kemandirian gagasannya atau justru proses berbenahnya dibayang-bayangi oleh sesuatu yang hendak mengejar keuntungan.
Mengapa hal itu perlu untuk ditelisik lebih dalam, sebab masalah otentik perguruan tinggi hari ini adalah ‘Neoliberalisme’. Singkatnya, Neoliberalisme dalam perguruan tinggi adalah sistem ekonomi politik yang berupaya mendorong pendidikan untuk menghamba pada kapital (uang) melalui komersialisasi pendidikan (perdagangan dalam pendidikan).
Tak menutup kemungkinan, Unhas sebagai kampus Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) bisa saja terjerat atau dibayang-bayangi oleh Neoliberalisme. Hal itu didasarkan pada kewenangan Unhas untuk mengatur segala bentuk kebijakan akademik maupun non-akademiknya.
Salah satu hal berbahaya dalam Neoliberalisme adalah, komersialisasi pendidikan. Yaitu sebuah langkah yang diambil oleh pihak kampus dalam melakukan sistem dagang atau sebuah tindakan yang hendak memperdagangkan segala hal dalam kampus, misalnya sarana dan prasarana.
Hari ini, sepertinya Unhas sedang mempraktikan komersialisasi pendidikan. Itu bisa kita buktikan dengan adanya beberapa kebijakan kampus yang bermuara pada keuntungan.
Komersialisasi Gedung Kampus
Dalam penggunaan gedung, Unhas bukannya menyediakan jasa peminjaman gedung, tetapi malah menyediakan jasa penyewaan gedung. Beberapa gedung yang disewakan seperti Baruga Andi Pangeran Pettarani dengan tarif Rp. 1.000.000, Gedung IPTEKS Rp. 750.000, dan Gedung Pertemuan Ilmiah (GPI) Rp. 500.000.
Angka-angka di atas mungkin saja bukanlah beban bagi para birokrasi kampus. Namun bagi mahasiswa, hal tersebut menjadi salah satu beban untuk berkegiatan di kampus. Padahal, secara esensial mahasiswa berhak menggunakan fasilitas kampus untuk pengembangan kapasitas, minat bakat, atau keilmuannya.
Adanya tarif penggunaan gedung, menandakan tidak semua mahasiswa dapat menggunakan dan menikmati fasilitas kampus Unhas. Juga sebagai bentuk pembatasan birokrasi kampus terhadap penggunaan gedung. Hal itu sama saja secara sengaja pihak kampus telah membatasi giat-giat positif mahasiswa.
Pembangunan Hotel Unhas
Pembangunan hotel di kawasan kampus tentu saja menuai kontroversi di kalangan mahasiswa Unhas. Hal itu dikarenakan, Unhas sebagai institusi keilmuan justru menghadirkan sesuatu yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan pengembangan pendidikan.
Kalau kemudian alasan didirikannya Hotel Unhas karena kampus kekurangan fasilitas, sepertinya tidak masuk akal. Sebab apabila diamati, sebenarnya bukan fasilitas yang kurang, tetapi kebijakan penggunaan fasilitas yang cenderung eksklusif dan ekonomis.
Lagi-lagi, ini adalah desain untuk kepentingan komersialisasi pendidikan. Kawasan kampus dimanfaatkan untuk untuk mengais keuntungan yang besar dengan desain sedemikian rupa.
Coba bayangkan, pihak kampus mendirikan hotel di kawasan kampus yang memiliki 79 kamar berdesain modern minimalis. Tipe kamar yang dihadirkan seperti Deluxe sebanyak 64 kamar, Junior Suite 10 kamar, Executive Suite empat kamar, dan President Suite satu kamar.
Apakah itu berkenaan dengan pengembangan pendidikan? Atau apakah itu semua adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh mahasiswa Unhas? Tentu saja tidak bukan! Lalu untuk apa? Lagi-lagi untuk kepentingan mengais keuntungan yang sebesar-besarnya.
Kalau kampus mendirikan museum keilmuan, mungkin itu jauh lebih masuk akal. Ketimbang mendirikan hotel yang bermutu untuk pengembangan pendidikan.
Kehadiran hotel Unhas menandakan, bahwa Unhas gagal dalam menjaga citranya sebagai kampus yang hendak mencetak akademisi dan ilmuwan. Selain itu, Unhas juga semakin memperlihatkan dirinya sebagai kampus yang dibayang-bayangi oleh Neoliberalisme melalui komersialisasi pendidikan.
Pentingnya Mendorong Penerapan UU RI Nomor 12 Tahun 2012 bab I pasal 3
Berdasarkan UU RI Nomor 12 Tahun 2012 bab I pasal 3, pendidikan tinggi berasaskan kebenaran ilmiah, penalaran, kejujuran/transparansi, keadilan/pemerataan pendidikan, manfaat, kebajikan, tanggung jawab, kebhinnekaan, dan keterjangkauan.
Sepertinya, Unhas hari ini telah lupa terhadap asas-asas pendidikan. Oleh karena itu, perlu kiranya kita mengembalikan ingatan Pimpinan Unhas terhadap penerapan asas-asas pendidikan itu.
Mengapa harus undang-undang itu yang didorong? Karena Undang-undang itu jika diterapkan secara intens oleh pihak kampus, maka akan mengembalikan marwah pendidikan tinggi pada asas-asasnya yang baik. Komersialisasi pendidikan sudah menjadi bentuk nyata melencengnya pendidikan tinggi dari asasnya.
Mengembalikan asas tersebut adalah salah satu solusi secara konseptual untuk mewujudkan perguruan tinggi sebagai representatif dari pendidikan tinggi, yang tak berpihak pada satu golongan atau kelompok tertentu. (*)