Fast fashion merupakan istilah terkait dengan model bisnis industri pakaian yang melibatkan proses yang cepat, mulai dari desain, produksi, distribusi, dan pemasaran dengan mengikuti tren mode terbaru, yang diproduksi secara massal dengan biaya murah. Istilah fast fashion diciptakan oleh New York Times pada awal 1990-an ketika Zara—brand fast fashion—memperkenalkan misi merek dagang mereka yang hanya memerlukan waktu dua minggu untuk memproduksi pakaian mulai dari tahap desain hingga didistribusikan di toko untuk dijual. Koleksi fast fashion sangat trendi dan cepat berganti, sehingga cenderung membuat pengikut fast fashion menjadi konsumtif, penumpuk barang, dan penghasil sampah karena diperhamba oleh tren terbaru. Zara (Spanyol), Uniqlo (Jepang), dan H & M (Swedia) adalah tiga di antara brand fast fashion yang populer.
Industri fast fashion “hidup” di negara-negara Asia dan negara berkembang, termasuk Indonesia. Industri semacam ini biasanya mempekerjakan perempuan muda, yang bekerja lebih dari 10 jam sehari, berupah rendah, tanpa asuransi jiwa dan keselamatan kerja, dan dalam kondisi berbahaya karena bekerja di industri yang memproduksi produk fast fashion yang tidak ramah lingkungan. Ini karena fast fashion merupakan salah satu penghasil limbah perusak lingkungan, seperti polusi air akibat zat pewarna tekstil, emisi rumah kaca pemicu pemanasan global, dan pencemaran tanah yang berisiko terhadap kesehatan manusia.
Fast fashion melahirkan dua hal yang kontradiktif. Di satu sisi, perubahan tren yang begitu cepat menjadi pemicu utama pesatnya perkembangan fast fashion dan ini berkelindan dengan pola konsumsi konsumen yang juga tinggi. Di sisi lain, dengan semakin banyaknya brand fast fashion, ini juga menimbulkan sebuah kesadaran dalam bentuk praktik fashion yang lebih ramah lingkungan.
Dalam kaitan dengan ini Kate Fletcher, seorang profesor di bidang sustainability, design, and fashion, University of the Arts London’s Centre for Sustainable Fashion, memperkenalkan istilah yang merupakan antitesis dari fast fashion, yakni slow fashion. Slow fashion merupakan praktik dalam dunia fashion yang didasarkan pada produksi dan pemakaian produk fashion dalam jangka waktu lama, berdaya tahan dan berkualitas tinggi, dengan proses produksi yang beretika, ramah lingkungan, dan tidak memproduksi secara massal. Dalam praktik slow fashion, kualitas menjadi prioritas ketimbang kuantitas. Jika fast fashion lebih menitikberatkan pada bagaimana memeroleh keuntungan sebanyak-banyaknya dengan biaya produksi serendah-rendahnya, maka slow fashion lebih berfokus pada bagaimana menjadikan seluruh proses dari produksi hingga konsumsi menjadi berkesinambungan (sustainable), termasuk dalam kaitan dengan etika terhadap pekerja industri tersebut dan dampak yang ditimbulkan bagi lingkungan sekitar.
Namun, slow fashion tidak sekadar tentang kesadaran dan pendekatan terhadap fashion yang mempertimbangkan proses dan sumberdaya yang dibutuhkan untuk membuat fashion, tapi gerakan ini mengajak kita untuk membeli pakaian berkualitas lebih baik yang dapat bertahan lebih lama. Namun banyak orang berprinsip “biar murah asal banyak” daripada “mahal tapi sedikit”.
Slow fashion pada dasarnya berkelindan dengan sustainable shopping yang bermakna berbelanja secara bijak dan berorientasi pada kepedulian terhadap lingkungan. Namun, banyak di antara kita yang trend followers, sehingga lemari dipenuhi dengan pakaian yang membingungkan ketika akan dipilih atau diabaikan karena ada tren baru. Akibatnya pakaian-pakaian sebelumnya bertumpuk karena tren fashion yang begitu cepat berubah dan sulit mengontrol diri. Let’s be wise and save the earth!