English English Indonesian Indonesian
oleh

Penataan Dapil dan Wacana Politik di Baliknya

OLEH: Ali Armunanto, Pengajar dan Peneliti pada Departemen Ilmu Politik FISIP Unhas

Beberapa waktu belakangan ini, perbincangan tentang wacana penataan ulang daerah pemilihan atau redistricting menjadi perbincangan hangat baik di kalangan politisi, penyelenggara pemilu, wartawan politik hingga pengamat politik di Kota Makassar. Hal ini terkait rencana pemekaran daerah pemilihan dari 5 daerah pemilihan menjadi 7 daerah pemilihan. Dari berita yang beredar di media, berbagai perdebatan muncul akibat wacana ini. Anggota DPRD Makassar misalnya sebagian besar menolak rencana ini alasannya mereka selama ini telah melakukan sosialisasi di dapil mereka dan jika redistricting (pendapilan ulang) dilakukan maka kemungkinan mereka akan mengalami kerugian karena berubahnya peta konstituen. Hal ini menjadikan mereka (anggota DPRD) harus kembali bekerja keras untuk melakukan sosialisasi terhadap konstituen mereka. Tulisan ini mencoba memberikan sedikit gambaran mengenai Dapil (election district) dan konsekuensinya terhadap pemilu, sistem kepartaian dan perwakilan politik.

Daerah pemilihan (dapil) atau electoral district adalah sebuah subdivisi dari sebuah wilayah pemilihan besar yang diciptakan untuk memberikan representasi bagi masyarakat yang berada dalam cakupan wilayah pemilihan yang telah ditetapkan. Tujuannya adalah untuk menjamin representasi politik bagi masyarakat secara adil dan merata bagi semua masyarakat yang mendiami wilayah sebuah negara. Metode untuk menetapkan dapil secara umum ada dua yaitu dengan menghitung jumlah luasan wilayah yang bisa dilayani oleh anggota parlemen dan menghitung jumlah orang yang bisa dilayani oleh anggota parlemen. Metode ini tentu tidak digunakan secara merata untuk seluruh wilayah, namun digunakan tergantung karaterisitik wilayah. Misalnya untuk daerah yang kepadatan penduduknya besar maka metode yang digunakan adalah metode yang berbasis pada besaran jumlah penduduk atau konstituen yang bisa dilayani oleh satu anggota parlemen sedangkan pada daerah yang kerapatan penduduknya kurang maka yang digunakan adalah metode luasan wilayah yang bisa dicakup untuk melayani konstituen.

Dari uraian metode tersebut, maka district magnitude menjadi hal yang sangat essensial dalam proses pendapilan. District magnitude meliputi besaran wilayah distrik, jumlah pemilih dalam distrik dan jumlah kursi yang diperebutkan. Hal ini ini menjadi sangat essnsial bagi praktek demokrasi karena dalam proses pendapilan ini kualitas representasi politik, persaingan politik hingga bentuk sistem kepartaian bisa dipengaruhi. Dalam hal ini, district magnitude bisa dimanipulasi untuk mendorong atau mereduksi kompetisi politik ataupun dimanipulasi untuk meningkatkan jumlah partai pemenang kursi atau sebaliknya mereduksi jumlah partai yang pada akhirnya akan sangat menentukan wajah sistem kepartaian dan interaksi partai politik dalam sistem politik. Oleh karena itu pendapilan tidak bisa dipandang remeh dalam proses demokratisasi, justru hal ini harus diberi perhatian jika kita menginginkan demokrasi berjalan dengan baik dimana representasi politik berjalan dengan baik tanpa adanya gejala underrepresentaion serta menciptakan arena kompetisi politik yang adil bagi semua peserta pemilu.

Pada negara-negara demokrasi yang lebih maju biasanya district cycle atau pendapilan ulang dilakukan secara berkala. Amerika Serikat misalnya, melakukan redistricting secara berkala setiap sepuluh tahun. Asumsinya adalah bahwa dalam sepuluh tahun telah terjadi banyak perubahan dalam demografi serta geografi akibat pertambahanan dan mobilitas penduduk. Di Indonesia pendapilan tidak dilakukan secara berkala, namun dilakukan sesuai dengan tingkat kebutuhan wilayah terhadap penataan dapil. Namun karena tidak dilakukan secara berkala, wacana-wacana pendapilan ulang sering menimbulkan kontroversi karena tidak adanya aturan main yang mengatur secara khusus waktu, syarat dan keharusan dilakukannya pendapilan. Dalam PKPU Nomor 6 tahun 2022 sendiri yang diatur hanya jumlah kursi perdapil berdasar besaran jumlah penduduk artinya jumlah kursi telah ditetapkan sebelumnya sehingga jumlah dapil akan menyesuaikan dengan dengan besaran kursi yang diperoleh oleh setiap daerah. Hal ini menjadikan proses pendapilan tidak merujuk kemampuan melayani para wakil rakyat tapi lebih pada pendistribusian kursi pada setiap dapil. Tentu saja hal ini bisa berimbas positif atau negatif. Salah satu imbas positifnya adalah metode ini lebih efisien dan tidak membutuhkan pekerjaan yang rumit dalam menetapkan dapil.

Kembali pada penataan dapil yang sedang dilakukan KPU saat ini yang banyak menuai kontroversi, bagi saya seharusnya memang KPU sebelum menetapkan peraturan KPU tentang penataan ulang dapil sebaiknya melakukan banyak konsultasi degan pihak-pihak terkait dan juga perbandingan dengan negara-negara lain. Meskipun hal ini diklaim telah dilakukan memalui berbagai FGD dan Konsultasi dengan pihak terkait namun bagi saya kelihatannya penetapan dapil secara topdown seperti ini tidak lahir dari diskusi dan perdebatan yang panjang dan mendalam mengenai proses pendapilan. Jadi wajarlah kalau kemudian hal ini menuai banyak perdebatan.

Masalah-masalah yang bisa muncul akibat pendapilan ulang.

Masalah pertama yang muncul dalam penataan dapil (redistricting) adalah berubahnya peta konstituen. Hal ini akan mendorong partai dan anggota legislatif serta calon anggota legislatif yang telah bekerja dari jauh-jauh hari dalam mematangkan social capital mereka bisa terganggu. Apalagi jika mereka hanya memfokuskan jaringan social capital mereka pada sebuah wilayah tertentu. Perubahan peta konstituensi akibat penataan ulang dapil bisa jadi akan sangat merugikan bagi mereka yang jaringan social capitalnya hanya terpusat pada titik tertentu hal ini bisa terjadi jika, contohnya; daerah yang menjadi basis konstituen keluar dari dapil sebelumnya sehingga bisa memicu terjadinya swing seats atau perpindahan dari satu dapil kedapil lainnya. Hal ini akan sangat memengaruhi pola kompetisi politik yang terjadi pada sebuah dapil. Masalah yang lebih parah dari perubahan dapil adalah berubahnya peta wilayah dapil yang bisa mengakibatkan daerah basis konstituen terpotong atau terpisah, tentu ini bisa membuat hilangnya kesempatan untuk memperoleh kursi bagi partai atau calon anggota legislatif. Jadi wajar jika sejumlah anggota DPRD Makassar merasa dirugikan jika penataan ulang dapil dilakukan karena bisa berimbas pada upaya-upaya mereka dalam membangun jaringan pemilih di masyarakat dan kesempatan mereka untuk memenangkan kursi dalam pemilu.

Masalah kedua yang mungkin muncul dari penataan ulang dapil adalah manipulasi peta konstituen untuk kepentingan pihak tertentu (Gerrymandering). Manipulasi terhadap peta konstituen bisa saja terjadi dalam proses penataan ulang dapil. Manipulasi ini bisa meliputi hal-hal seperti memecah basis suara partai pada sebuah dapil sehingga partai akan susah untuk mendapatkan kursi pada satu dapil tertentu, atau bisa juga menggabungkan basis suara yang terpisah sehingga sebuah partai bisa mendominasi perolehan kursi disebuah dapil tertentu. Kecurangan seperti ini banyak dilakukan pada negara-negara Amerika Latin yang kira-kira pola dan struktur demokrasi nya sama seperti di Indonesia. Bukan bermaksud memicu polemik namun pengetahuan seperti ini penting untuk mendorong kesadaran masing-masing pihak agar tidak memanfaatkan pendapilan sebagai sarana untuk membangun dominasi dan hegemoni politik.

Penambahan jumlah dapil seperti yang terjadi di Makassar, bisa saja memicu hal serupa yang saya kemukakan diatas. Makanya diperlukan perhatian berbagai pihak agar hal-hal tersebut tidak sampai terjadi. Penetapan dapil sejatinya dilakukan untuk memudahkan tepilihnya representasi masyarakat dan juga menjamin perwakilan bagi kelompok-kelompok minoritas. Jika kita berkomitmen pada kedua hal tersebut, maka tentu pendapilan akan menjadi sesuatu yang membawa manfaat bagi masyarakat kita. Namun jika pendapilan dilakukan sebagai sebuah upaya untuk menciptakan dominasi politik dan lahirnya kekuatan hegemoni politik yang baru hal ini justru akan menjadi mudharat bagi masyarakat. Oleh karena itu saya mengajak teman-teman pemerhati pemilu, masyarakat dan juga institusi terkait seperti parpol dan KPU serta Bawaslu serius untuk menanggapi wacana penataan dapil ini. (*)

News Feed