There’s no point in trying to stop my dreams, because when I stop dreaming, I’ll be dreaming through your minds and dreams! There’s no point in thinking everything’s going to stop the day Lula has a heart attack. That’s nonsense! Because my heart will be beating through yours, and there are millions of hearts! The powerful can kill one, two, or 100 roses. But they’ll never stop the arrival of spring, and our fight is in search of spring! (Lula da Silva).
Brasil memasuki babak baru. Senin siang pekan lalu — hari Minggu waktu Brasil — Luiz Inacio Lula da Silva resmi disumpah sebagai Presiden Brasil. Pria berusia 77 tahun itu berhasil meraih masa jabatan ketiganya setelah mengalahkan petahana sayap kanan Jair Bolsonaro pada Oktober 2022 dalam sebuah pemilihan presiden paling ketat dalam beberapa dekade. Lula pernah menjabat sebagai Presiden Brasil untuk dua periode di tahun 2003-2010. Dia sempat di tahun selama 18 bulan atas hukuman korupsi selama 12 tahun. Ia dibebaskan di tengah masa hukuman karena Mahkamah tertinggi menilai Lula tidak bersalah.
Mahkamah Pemilihan Umum Tertinggi menetapkan Lula sebagai Presiden Brasil selanjutnya dengan perolehan akhir 50,9 persen suara melawan 49,1 persen yang diraup Jair Bolsonaro. Dalam pidatonya pada Minggu (30/10) malam, Lula menyatakan dirinya akan menyatukan negara yang terpecah. Dia juga menjamin rakyat Brasil ‘meletakkan senjata yang seharusnya tidak pernah diangkat’, sembari mengundang kerja sama internasional untuk melestarikan hutan hujan Amazon.
Bolsonaro (67) — yang sudah ‘melarikan diri’ ke Amerika Serikat — mungkin akan dikejar untuk beberapa kasus hukum. Bolsonaro — selepas Lula dibebaskan di tahun 2019 — memang amat mengkuatirkan kembalinya Lula untuk bertarung dengan dirinya. Bolsonaro selama 1-2 tahun terakhir melontarkan klaim-klaim tidak berdasar soal sistem pemungutan suara dalam Pemilu Brasil yang ditudingnya rentan terhadap kecurangan. Begitu lepas dari tahanan — berdasarkan laporan lembaga survey — popularitas Lula dari tahun ke tahun memang langsung menanjak melampaui Bolsonaro.
**
Senin pekan lalu cuitan Capres Nasdem Anies Baswedan viral ketika ia bersama putranya Mikail menonton film “The Edge of Democracy” — yang bercerita tentang saat akhir Lula menjabat dan dilanjutkan oleh Dilma Rousseff. Film menceritakan bagaimana Lula dihajar oleh lawan politik bersama pendukungnya — dengan berbagai tudingan korupsi. Dilma sendiri meskipun tak mendapat tudingan korupsi tetapi dimakzulkan di tengah jalan.
Anies — menyitir isi buku How Democrasies Die, menyinggung beberapa cara melemahkan demokrasi. Pertama, kuasai wasitnya. Kedua, menyingkirkan lawan politik dengan berbagai cara. Ketiga, mengganti aturan untuk melanggengkan kekuasaan.
Namun semua upaya ‘jahat dan culas’ yang dilakukan untuk mematikan demokrasi — tak mungkin bisa meredam keinginan rakyat banyak. Sebagaimana kutipan Lula di atas: “Kekuasaan bisa mematikan satu, dua atau 100 mawar. Tetapi dia tak bisa menghentikan datangnya musim semi. Dan kita berjuang untuk mencari musim semi.”
**
Pemimpin yang tidak menepati janjinya kepada rakyat pasti akan ditinggalkan rakyat. Di masa kepemimpinannya dahulu, Lula dikenang sebagai pemimpin yang berpihak kepada rakyat. Ketika ia berhenti menjadi Presiden Brasil di tahun 2010 popularitasnya berada di angka 87 persen. Maka yang menarik adalah sumpahnya untuk rakyat Brasil setelah terpilih jadi Presiden. Rakyat Brasil akan kembali bisa menikmati ‘makan picanha dan meminum bir’ di setiap akhir pekan. Picanha potongan daging sapi yang populer dan digemari masyarakat Brasil, namun inflasi tinggi membuat harganya di luar jangkauan banyak orang. Mereka perorang akan kembali menikmati 1-2 kilogram picanha sambil menenggak bis di akhir pekan. ***