English English Indonesian Indonesian
oleh

Betulkah Daeng Parewa Representasi Pelaut Bugis Makassar?

OLEH: Muh. Fadhly Kurniawan, Peneliti Transkrip Tradisi Lisan Indonesia

Beberapa pekan lalu, di penghujung akhir tahun, tanggal 22 Desember 2022, tulisan saya akhirnya ditanggapi langsung oleh sutradara Gau’ Maraja (GM), yaitu Alif Anggara (selanjutnya baca Alif). Saya sengaja menunda untuk menanggapinya secara langsung saat itu, agar di awal tahun ini, kita berangkat dari spirit diskusi inklusi mengenai kesenian, dan seni pertunjukan yang akan berlangsung di tahun ini selanjutnya.

Melalui harian Fajar online, Alif yang juga berperan sebagai sosok Daeng (Dg.) Parewa mengatakan catatan saya sebelumnya sangat teknis. Betul, saya sengaja menawarkan hal-hal yang ekstrinsik pada GM, agar pembaca maupun penanggap berkesempatan menggunakan persepsinya untuk memilah dan memilih topik mana yang akan dibahas secara khusus. Akhirnya, Alif menawarkan sosok Dg. Parewa sebagai representasi pelaut Bugis Makassar (BM). Baiklah, mari kita ulas.

Dari keseluruhan tanggapan, saya cukup tergelitik di paragraf ketujuh dan delapan pada rubrik tanggapan Alif. Ia mengatakan bahwa, munculnya sosok Dg. Parewa dalam event GM ini merupakan respons terhadap program Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tentang jalur rempah nusantara. Olehnya itu, Dg. Parewa dihadirkan sebagai representasi pelaut Bugis Makassar. Kemudian, Dg. Parewa dikisahkan tidak hanya berprofesi sebagai pelaut ulung, ia juga merupakan pedagang dan bangsawan yang diharapkan menghadirkan spirit bahari Bugis Makassar. Begitu kira-kira narasinya. Pertanyaan saya muncul, apakah melalui event GM lalu itu Dg. Parewa sudah betul-betul hadir sebagai representasi pelaut BM? Yang manakah dikatakan pelaut BM? Apa tanda dan ciri khasnya?

Dg. Parewa dan identitas maritim pelaut BM

Mari kita menelisik kembali pertunjukan sebelumnya. Secara teknis, pertunjukan drama kolosal Dg. Parewa dapat dikatakan berhasil merepresentasikan konteks maritim. Mulai dari kostum, properti, dan aktivitas aktor pendukung lainnya. Tapi, sedikit tanggapan saya, khususnya di pertunjukan GM ketiga, para aktor masyarakat hampir semua tidak menggunakan passapu (destar), padahal, passapu merupakan representasi identitas masyarakat BM. Betapa tidak? Hampir tidak ditemukan di dokumentasi manapun mengenai pelaut dan masyarakat lokal terdahulu tidak menggunakan passapu. Contohnya, di catatan Nicolas Gervaise misionaris Perancis abad ke 17 yang mengatakan bahwa “setiap aktivitasnya, orang-orang Makassar memakai Chapeau, yang artinya penutup kepala” (2022: 148). Untungnya, Dg. Parewa dan awak kapalnya semua menggunakan passapu, representasi pelaut BM pada konteks ini sudah terwakili secara simbolis.

Lebih lanjut, jejak para pelaut BM di belahan bumi lainnya telah ditemukan di beberapa catatan kesejarahan. Adapun sumber populer yaitu, diaspora Bugis di tanah Melayu Nusantara (2010), dan Vooyage to Marege—pencarian taripang dari Makassar di Australia Utara (2017). Dalam keseluruhan catatan tersebut, kita dapat menemukan bentuk diplomasi budaya yang pernah dilakukan pelaut BM, hal itu cukup direpresentasikan di pertunjukan GM, dimana Dg. Parewa berlabuh dan melakukan aktivitas perdagangan di beberapa wilayah tetangga. Meskipun dialog yang dilakukan masih sebatas narasi tunggal dan simbolis—bukan dua arah.

Spirit dan warisan ekologi maritim pelaut BM

Menurut hemat saya, jiwa pelaut BM tidak dipungkiri lagi, hal itu berangkat dari spirit mitologi I La Galigo dan Sinrili’na I Manakku Ca’di-ca’di. Kedua tradisi lisan konteks maritim tersebut telah menubuh dalam diri manusia BM. Akan tetapi, apabila kita sepakat berangkat dari spirit itu, idealnya Dg. Parewa mengambil nilai-nilai yang terkandung dalam naskah tersebut. Misalnya, aspek ekologi dalam naskah I La Galigo, pada bagian episode Penebangan pohon Welenrenge/Ritumpanna Welenrengnge—pembahasan ini dapat dikaji lebih lanjut, dan termasuk tradisi lisan yang berkembang, yaitu, dahulu, para pelaut Makassar ketika telah mendatangi suatu wilayah, mereka memberikan tanra atau bukti dengan menanam pohon Tala’ (lontar) di wilayah tersebut. 

Beberapa tahun lalu, saya menyimak dokumentasi Ridwan Alimuddin (Ridwan Mandar) yang melakukan pelayaran ke Darwin dengan timnya. Uniknya, di tiap wilayah yang disinggahinya, ia tidak menanam pohon Tala’, tetapi mengasosiasikannya dengan beberapa buku sebagai bentuk gerakan literasi. Terbukti, meskipun hanya berbentuk dokumentasi foto, saya dapat merasakan atmosfer hasil diplomasi pelaut Makassar yang ke Darwin, yaitu, mereka disambut dengan hangat penuh kerinduan dan beberapa bentuk ritual penyambutan masyarakat Aborigin. Buah diplomasi budaya yang masih ditemukan jejaknya sampai saat ini, seperti jejak bahasa, kuliner, dan lainnya. 

Mengapa saya menawarkan aspek ekologi, karena isu ini merupakan isu global dan menjadi perhatian bersama. Meskipun pembahasan ini agak sedikit melebar, namun, kenyataannya beberapa wilayah bumi lainnya telah mengalami fenomena cuaca yang abnormal. Olehnya itu, sembari Anda membaca tanggapan ini kembali, saya harapkan seni pertunjukan ke depannya dapat dijadikan sebagai metode dan pendekatan untuk memberikan edukasi kepada audiens, khususnya pada nilai filosofis dan ekologis pelaut BM. 

Pertunjukan kesenian di panggung tentunya memiliki keterbatasan waktu, namun, apabila sajiannya mengandung nilai edukasi, tentu hasilnya berdampak pada sensitivitas penonton yang tidak temporal. Akhir-akhir ini kita hanya dihadapkan pada glorifikasi pertunjukan, dan semuanya hanya mengambang dan usai di atas panggung pertunjukan. Besar harapan saya untuk Dg. Parewa selanjutnya melanjutkan pelayarannya dengan betul-betul memberikan kita insight mengenai nilai maritim yang kita punya, sesuai visi event GM tersebut.

Sebagai penutup, saya tidak menuntut Dg. Parewa harus menjadi pelaut sesungguhnya, realitasnya, di mana identitas pelaut Bugis Makassar hari ini? Mereka menjerit karena dampak ekologi. Apakah masih digaungkan seperti dahulu? Saya pikir, dengan kehadiran Dg. Parewa memberikan kita intrik dan memantik agar perlunya kita membaca kebudayaan, ataukah kondisi saat ini kebudayaan baru yang telah membaca kita sebagai manusia Bugis Makassar. Kurrusumange’. (*)

*Muh. Fadhly Kurniawan, Peneliti Transkrip Tradisi Lisan Indonesia. email: [email protected]

News Feed