OLEH: Abd. Rahman Hamid, Dosen Sejarah UIN Raden Intan Lampung
Peristiwa politik tidak selalu berdampak bagi semua aspek kehidupan manusia. Pasca Perang Makassar (1666-1669), ambil contoh, budaya bahari di kalangan pedagang Wajo justeru semakin berkembang. Ini ditandai oleh kodifikasi hukum pelayaran dan perniagaan pada 1 April 1676 atas inisiatif Amanna Gappa. Ini merupakan hukum laut pertama dalam sejarah Indonesia dan kedua di Asia Tenggara setelah Undang-undang Laut Melaka abad ke-15.
Siapa sesungguhnya Amanna Gappa? Nama lengkapnya La Patello’ Amanna Gappa. Sebelum menjadi matoaWajo yang ketiga, ia tinggal di Ujung Pandang sebagai pelaut dan pedagang. Pengangkatannya sebagai matoa dilandasi oleh dua pertimbangan. Pertama, memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas mengenai cara berlayar dan berniaga. Kedua, mempunyai banyak pengalaman dalam menerapkan hukum pelayaran dan perniagaan (Abidin 1979).
Dalam tradisi politik lokal, jabatan matoa diperuntukan bagi orang-orang yang memiliki kualitas pribadi unggul, karena ia kelak menjadi teladan bagi semua orang yang dipimpinnya. Calon matoa harus mampu berlaku jujur dan adil dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat. Ia baik hati dan penyayang kepada sesama manusia. Cakap berbicara dan memiliki budi pekerti yang baik dan bijaksana. Yang juga tidak kalah penting, dia berasal dari keluarga baik. Dia pandai dalam urusan hukum adat dan kebiasaan. Calon matoa harus menghormati harkat dan martabat manusia (Abidin 1979:9).
Peranan matoa sangat penting dalam perdagangan. Tidak ada orang yang boleh menawar harga barang lebih tinggi dari dia. Matoa berhak ikut dalam pembelian orang lain. Dan, hanya setelah barang-barang terjual barulah penjual mendatangi dan menawari matoa pembagian hasilnya. Matoa boleh memberikan barang dagangan hingga 100 real sebagai komisi untuk kapten kapal dan menjualnya atas nama matoa dengan ketentuan bahwa yang bersangkutan menyerahkan keuntungan kepada matoa. Bila ada yang cepat membeli atau menjual barang sebelum dilihat oleh matoa, maka dia harus memberi tahu kepada matoa dan membagi dua keuntungannya (Noorduyn 2009).
Hukum Laut Amanna Gappa
Hukum laut ini terdiri atas 21 pasal yang mengatur enam soal penting yaitu: sewa perahu, cara membawa perahu, syarat menjadi nakhoda, cara dan kode etik berniaga, cara penyelesaian konflik, sistem bagi hasil, dan penyelesaian utang-piutang.
Dari daftar sewa perahu tampak bahwa wilayah pelayaran Bugis, Makassar, dan Mandar hampir meliputi seluruh wilayah maritim Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Kamboja. Sewa perahu yang paling mahal ialah dari Ujung Pandang, Pasir, Sumbawa, dan Kaili menuju Aceh, Kedah, dan Kamboja yakni 7 rial (=14 rupiah) dari setiap 100 real hasil penjualan. Kemudian sewa perahu menuju Selangor, Malaka, Johor, Tanapulo, Jakarta, Palembang, dan Aru sebesar 6 rial (12 rupiah).
Aktor yang terlibat dalam pelayaran niaga secara hierarkis terdiri dari pemilik perahu, nakhoda, juru mudi dan juru batu, dan kelasi (penumpang). Dari semua aktor ini, yang paling mendapat perhatian adalah nakhoda, seperti tampak pada 15 syarat menjadi nakhoda: (1) memiliki senjata dan pelurunya, (2) perahunya kuat, (3) mempunyai modal, (4) rajin dan teliti dalam pelayaran, (5) mampu mengawasi kelasinya, (6) mampu membela kelasinya dalam kebenaran, (7) bersedia menerima teguran atau nasihat, (8) jujur terhadap kelasi, orang lain, dan Tuhan, (9) memperlakukan kelasi sebagai anaknya, (10) tidak lelah memberikan pelajaran mengenai alat-alat pelayaran, (11) memiliki kesabaran tinggi, (12) disegani, (13) bertanggung jawab mengurus barang kelasi, (14) sudi mengongkosi perahunya, dan (15) mengetahui dengan benar jalur pelayaran (Hamid 2018).
Berdasarkan syarat di atas jelas bahwa nakhoda harus mempunyai keahlian, keberanian, kebijaksanaan, kesabaran, kejujuran, keterbukaan, dan kekayaan sehingga ia dapat menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin bagi semua orang di atas perahu selama pelayaran. Dengan kata lain, nakhoda adalah “raja” di perahu. Jika terjadi perselisihan di laut (perahu), maka nakhoda harus mencarikan solusinya sebelum perahu tiba darat (suatu negeri).
Kendati hukum ini lebih berorientasi ekonomis, namun ia juga sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan. Ambil contoh dalam sistem samatula. Jika terjadi kerugian dalam usaha karena faktor alamiah seperti rusak di lautan dan dimakan api serta kecurian maka kerugiannya ditanggung oleh pemilik barang. Namun, bila kerugian itu disebabkan oleh bukan cara berdagang yang benar seperti dijudikan, diperlacurkan, dipakai beristeri, diboroskan, dipinjamkan, dimadatkan, dan dibelanjakan untuk kebutuhan sendiri, maka hutang tersebut ditanggung sendiri oleh pembawa jualan.
Hukum ini mengatur bahwa tidak boleh hutang diwariskan kepada keluarga penghutang. Orang yang mengambil hutang di pasar atau perantauan yang tidak diketahui oleh keluarganya, sebelum yang bersangkutan bertemu dengan keluarganya lalu meninggal dunia, maka keluarganya tidak boleh ditagih untuk membayar hutang itu, kecuali bila ia sudah bertemu dengan keluarganya, baik memberi tahu atau tidak menyampaikan soal hutang itu, maka keluarganya wajib melunasi hutangnya.
Hal lain yang menarik ialah larangan keras membungakan hutang. Perbuatan ini dianggap sebagai kejahatan di dunia dan akhirat. Hal itu dilukiskan dengan istilah riraung cempa, yang artinya dipetik seperti daun asam. Itulah keburukan di dunia. Akibatnya di akhirat pun sangat buruk seperti ungkapan jénne’na makkéjénné’ yakni bunganya berbunga (Tobing 1961). Sampai di sini, hukum ini mencerminkan nilai-nilai keislaman.
Dalam hukum ini diatur bahwa, para pelaut tidak boleh membawa masalah di laut ke darat sesuai prinsip “di mana saja api mulai menyala, di situ juga padam”. Tetapi bila kemudian terjadi perselisihan antara sesama pedagang di darat, maka masalahnya diajukan kepada matoaatau orang yang dituakan setempat. Sebelum diputuskan, matoa harus mendengarkan semua keterangan serta memeriksa keadaan dan perbuatan mereka. Setelah ada empat alat bukti utama dan empat alat bukti tambahan, barulah matoa memutuskan perkara. Namun bila bukti dari kedua pihak sama kuat, maka jalan terakhir ialah dengan hukum Tuhan (Abidin 1979).
Lewat usaha ini, Amanna Gappa berkontribusi besar bagi sejarah maritim Asia Tenggara. Dia telah melakukan hal terbaik yang melampaui masa hidupnya. Hukum ini digunakan oleh pelaut dan pedagang Bugis, Makassar, dan Mandar hingga abad ke-20. Pada konteks ini jelas bahwa Amanna Gappa merupakan orang yang tercerahkan. (*)