English English Indonesian Indonesian
oleh

Wajah Gelap Oligarki dalam Perpu Ciptaker

OLEH: Fajlurrahman Jurdi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 cukup mengagetkan. Karena terbitnya Perpu ini dituding tanpa dalil yang kuat tentang apa  yang dimaksud dengan “kegentingan yang memaksa” sebagai pra syarat terbitnya sebuah Perpu.

Merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang membatalkan secara formil pembentukan UU Ciptaker dengan kalimat “inkonstitusional bersyarat”. Apabila tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua (2) tahun sejak putusan MK, maka UU tersebut batal permanen. Maka semestinya, perbaikan UU Ciptaker dilakukan dengan pembahasan melalui mekanisme normal di DPR.

Salah satu yang paling penting juga dari putusan tersebut adalah bahwa Majelis memerintahkan kepada pembentuk UU untuk menyesuaikan pembentukan suatu UU itu berdasarkan ketentuan UU Nomor 12  tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP).

Perintah ini tidak dihiraukan oleh Pembentuk UU, justru mereka mengubah UU PPP, bukan UU Ciptaker. Akhirnya setelah perubahan menjadi UU Nomor 13 tahun 2022, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengakomodir metode Omnibus Law di Pasal 42A.  Perubahan UU PPP ini cukup disayangkan oleh banyak pihak, karena pembentuk UU tidak menghiraukan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dimana perbuatan hukum pembentuk UU berbeda dengan putusan hakim.

Yang menjadi pertanyaan sederhana publik adalah, kenapa Keluar Perpu Ciptaker?. Apa rasio legis-nya. Atau apa rasio konstitusionalnya sehingga ini harus dikeluarkan, sementara perintah MK adalah mengubahnya melalui proses normal di DPR?

Di samping itu, tidak ada peristiwa pemerintahan yang mengkhawatirkan belakangan ini, juga tidak ada gonjang-ganing politik yang memerlukan suatu tindakan atau keputusan penting dari kepala pemerintahan. Keadaan masyarakat dan pemerintah tidak menunjukan suatu situasi rumit.

Pasal 22 ayat (1) UUD NRI tahun 1945 menyebutkan bahwa: “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.

Apa yang dimaksud dengam “kegentingan?”. Dalam KBBI, kegentingan artinya keadaan yang genting, krisis, atau kemelut. Sedangkan “genting” dalam KBBI bermakna tegang dan berbahaya. Hal ini dikaitkan dengan keadaan yang mungkin segera menimbulkan bencana perang dan sebagainya. Tetapi tentu maksud “genting” disini bukan terkait dengan keadaan perang, karena kondisi perang diatur secara terpisah dalam Pasal 12 tentang keadaan Bahaya dalam UUD NRI Tahun 1945.

Sedangkan “memaksa” adalah berbuat sesuatu karena keadaan yang mendesak dan tertekan. Hal ini bisa juga dilakukan dengan kekerasan, jika dibutuhkan. Dengan demikian, maka “keadaan memaksa” adalah situasi atau keadaan pemerintahan yang terdesak karena ada situasi emergency yang membutuhkan tindakan serta merta dan dilakukan secepat mungkin, sementara tidak ada hukum yang mengaturnya.

Tetapi subyek dari “keadaan memaksa” ini adalah presiden. Presiden adalah merupakan titik simpul dan titik pijaknya, karena kalimat di UUD NRI tahun 1945 meletakkan “diskresi tanpa batas” kepada Presiden.

Potongan kata “Presiden berhak” merupakan rumusan open legal policy yang menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden untuk menilai apa yang dimaksud dengan “kegentingan yang memaksa” itu. Dalam konteks inilah, para ahli berang dengan sikap Presiden yang tiba-tiba menetapkan Perpu sementara MK dalam putusannya menghendaki agar UU Ciptaker dibahas bersama oleh DPR dan Presiden.

Keluarnya Perpu ditengarai sebagai bentuk dari despotisme lunak, dan pembangkangan Presiden terhadap putusan MK. Tentu saja ini bukanlah pepesan kosong, karena konstruksi dasarnya, UU Ciptaker adalah merupakan “pesanan” sekelompok oligarki. Dengan demikian, sikap Presiden dapat dimaknai sebagai “penghambaan yang sempurna” pada kehendak oligarki.

Ada banyak dalih dan celah untuk menetapkan suatu Perpu, apalagi ada hak presiden yang nyata-nyata disebutkan di dalam konstitusi. Bahkan kita semua tau, bahwa pada saat pembentukan UU Ciptaker dengan metode Omnibus Law yang ditentang oleh hampir seluruh ahli hukum dan melanggar ketentuan UU Nomor 12 tahun 2011, mereka jalan terus tanpa menghiraukan kritik dan perlawanan dari masyarakat sipil. Meskipun akhirnya MK berhasil menghentikan “sementara” langkah ugal-ugalan mereka membentuk UU.

Dengan penetapan Perpu Ciptaker oleh Presiden yang dilakukan secara tiba-tiba dan tanpa pra-syarat konstitusional, yakni “kegentingan yang memaksa”, memperkuat kembali sinyalemen publik selama ini, tentang wajah oligarki yang menempel dalam UU Ciptaker. Maka, habis terang, terbitlah gelap, habis UU, terbitlah Perpu Ciptaker. Dan Perpu Ciptaker adalah cermin kegelapan wajah hukum dan kekuasaan kita.  Wallahu a’lam bishowab. (*)

News Feed